Gelap. Hanya ada sedikit cahaya yang masuk ke kamarku, melewati celah ventilasi. Dingin. Rasanya seperti matahari sudah tak terbit lagi. Haruskah kuakhiri? Tidak. Aku tak punya hak untuk mengakhiri kehidupanku. Hanya Tuhan yang punya hak untuk itu. Namun aku lelah. Kegelapan selalu menghampiriku ketika setitik cahaya matahari mulai nampak. Aku sakit.
"Ra......... Keluar Ra, lo gak ngelakuin hal gila kan?"
Suara-suara itu terdengar samar.
Aku memeluk lututku semakin erat, dan menempatkan kepalaku di antara keduanya. Aku tidak peduli dengan suara-suara di luar sana. Akupun tidak peduli jika pintu kamarku akan ambruk karena gedoran yang semakin kencang.
"Ra!"
Aku mendongak karena panggilan itu terdengar sangat dekat.
"Apa?" aku menjawab dengan sangat lemah.
Dia, kakakku hanya berdiri mematung sambil sambil terus memandangiku. Aku lihat matanya sedikit berkaca-kaca. Kubenamkan wajahku pada kedua lututku lagi, karena tidak sanggup melihat wajah kakak tertuaku. Aku sangat tak suka melihatnya seperti itu.
"Nangis aja kalau lo pengen. Jangan ditahan." Ucapnya, sambil duduk di sebelahku.
"Gue gak pengen nangis." Jawabku singkat. Tanpa mengangkat kepala.
"Ini bukan salah lo."
"Gue tau kok." Aku menjawab cepat.
"Semuanya bakal berlalu Ra. Hidup lo masih panjang. Gue tahu mungkin luka di hati lo pasti akan susah sembuh. Tapi lo harus tetap menghadapi dunia ini dengat tegar." Petra bicara sambil menatap lemari pakaian yang ada di kamarku.
Aku menatap sekilas wajahnya dari samping, lalu mengikuti arah pandangannya. Di samping lemari pakaian itu ada meja kecil dengan frame foto di atasnya. Ada beberapa orang di dalam foto itu, salah satunya aku. Total ada lima orang di sana, aku, Deni, April, Tara, dan Dimas. Dadaku sesak saat kembali memandangi wajah-wajah di foto itu.
"Kenapa? Kenapa Tuhan selalu mengambil orang terbaik dalam hidup gue?" aku tak tahu sedang bertanya kepada siapa.
"Mereka adalah orang-orang baik. Mereka hanya gak pantas berada terlalu lama di dunia yang kejam ini." Petra menjawab pertanyaanku.
Iya, mereka terlalu baik untuk berada di dunia yang sudah rusak ini. Tuhan menyelamatkan orang-orang terbaiknya, termasuk ibuku dan Dimas.
###
Aku melihat cahaya putih yang sangat terang, ketika mataku silau dengan cahaya itu tiba-tiba saja cahayanya menghilang. Lalu yang kulihat adalah ibuku yang terbaring lemah di atas brankar rumah sakit. Dengan selang yang terpasang di badannya ia masih bisa tersenyum ke arahku dengan sangat cantik.
"Yoora-ya, kamu harus hidup dengan bahagia walau tanpa eomma." Ia berkata pelan masih dengan senyum di wajahnya.
"Kenapa eomma gak mau dikemo lagi?" tanyaku dengan air mata yang menggenang. Aku menggenggam tangannya yang sangat kurus.
Ibuku sakit Leukimia, dan dia berhenti melakukan kemoterapi. Ia bilang percuma karena penyakitnya sudah parah. Kemo hanya sedikit menambah umurnya namun tidak benar-benar menyembuhkan penyakitnya. Ia juga bilang kemo hanya menambah rasa sakit pada tubuhnya. Saat itu kami menyetujui permintaan eomma, dan membawa dia pulang ke rumah. Ketika itu aku berfikir bahwa itu adalah jalan terbaik. Membuat ibuku bahagia di detik-detik terakhirnya adalah hal terbaik yang bisa kami lakukan.
Gambaran tentang ibuku tiba-tiba menghilang. Digantikan dengan cahaya putih itu lagi. Dan tiba-tiba aku sudah berada di dalam mobil bersama dengan empat orang temanku, dan satu orang supir pribadi.
"Gue ngerasa aneh sama mobilnya." Ucap Deni.