Aku memarkir mobilku di depan rumah ustadzah Zahra. Tapi aku masih menunggu seseorang. Ustadzah Zahra adalah guru mengaji sekaligus sahabat baik almarhum ibuku. Ibuku seorang mualaf, itulah sebabnya ia perlu guru mengaji pribadi. Ayahku bisa mengajarinya, namun kata ibuku akan lebih nyaman jika guru mengajinya juga seorang perempuan. Sebenarnya aku dan kedua kakakku juga diajar oleh ustadzah Zahra. Itulah kenapa aku lumayan dekat dengan beliau.
Suara ketukan kaca membuatku menoleh. Aku kira Tara sudah sampai, tapi ternyata wajah anggun ustadzah Zahra yang terlihat di sana.
"Umi." Kataku sambil keluar dari mobil.
"Kenapa tidak masuk?" tanya ustadzah Zahra sambil memelukku.
"Raya masih nunggu teman, Umi." Aku memang biasa memanggil ustadzah Zahra dengan sebutan umi.
Umi memandangiku dari ujung kaki hingga ujung kepala.
"MasyaAllah. Kamu cantik dengan penampilan kamu yang seperti ini Raya. Umi hampir tidak mengenalimu. Untung umi hafal mobil kamu."
"Doakan semoga istigkhamah ya umi."
"Amin. Oh itu teman kamu?" tanya umi sambil melihat ke arah Tara yang baru saja datang.
"Assalamualaikum umi." Sapa Tara.
"Waalaikumsalam." Jawabku dan umi bersamaan.
"Umi ini Tara. Dulu dia sering ikut ngaji juga bareng Raya."
"Oh, Retara?" kamu sudah besar sekarang." Kata umi sambil memeluk sahabatku itu.