Dengan cemas saya memandangi barisan orang yang sedang antre untuk check-in di konter pesawat menuju Jakarta. Saya berdiri tidak terlalu dekat supaya tidak dikira mau menyerobot antrean, tetapi juga tidak terlalu jauh supaya jika ada apa-apa, saya bisa langsung mendekat ke konter. Papih akhirnya sampai di barisan depan konter. Tanpa ada banyak komunikasi, proses check-in pun berjalan lancar. Saya mendekati Papih dan memintanya untuk menunjukkan boarding pass agar saya bisa menjelaskan ke arah mana dia harus pergi.
Sejak kepergian Mamih empat tahun yang lalu, saya dan Papih suka traveling berdua. Bukannya dulu tidak suka, melainkan sebab pengalaman pertama kami bertiga traveling ke Singapura memang tidak berjalan mulus. Saat itu, kami kehilangan paspor serta tiket pulang karena Papih kelupaan membawa tas pinggang yang diletakkan di pojok bawah kursi di dalam taksi. Gara-gara insiden tersebut, rencana ke Johor Bahru terpaksa dibatalkan karena kami harus bolak-balik ke kantor imigrasi di Singapura untuk mengurus surat pengganti paspor dan mencari tiket pulang. Zaman dulu masih belum zamannya pesan tiket online. Semuanya harus diurus di kantor perwakilan airlines. Sejak saat itu, kami belum sempat traveling lagi dan Mamih keburu divonis memiliki tumor serta harus menjalani perawatan ini-itu hingga akhir hayatnya pada Maret 2006.
Bersama Papih, saya sempat ikut tur ke Bangkok dan Hong Kong selama 7 hari dan keliling Tiongkok selama 9 hari. Mungkin akibat pengalaman itulah saya semakin tergoda untuk traveling lagi dan lagi. Pada 2009 saya nekat berangkat ke Australia sendirian dan menjelajahi Sydney selama 9 hari. Sepulang dari sana, saya bertekad untuk mencari cara agar saya bisa traveling lagi dengan jangka waktu yang lebih lama.