Backpackneymoon

Bentang Pustaka
Chapter #2

How Did We Meet?

Bandung, 27 Juli 2011

Jam dinding menunjukkan pukul 2.00 siang. Saya menutup buku catatan persiapan untuk mengajar pukul 4.00 sore nanti dan bergegas membereskan meja kerja saya. Sudah setahun lebih saya mengisi waktu sebagai pengajar lepas di salah satu lembaga kursus bahasa Inggris tertua di Bandung. Saya hanya bertahan dua bulan di rumah sejak pulang dari bertualang di Thailand selama empat bulan pada 2010 lalu, hingga akhirnya mengambil tawaran beberapa jam per minggu di tempat ini.

Dari petualangan saya di Thailand, saya dikenalkan dengan sistem Couchsurfing yang memfasilitasi interaksi antara warga lokal dan para pejalan dari dan di berbagai penjuru dunia. Saat saya sedang berada di negara sendiri, saya bisa menerima tamu pejalan yang sedang mengunjungi Indonesia, baik dalam bentuk memberi tumpangan menginap secara gratis maupun bertemu untuk sekadar membagikan informasi lokal yang tentunya sangat penting bagi turis asing. Demikian juga sebaliknya, saat saya mengunjungi negara lain, saya bisa meminta bantuan kepada para anggota Couchsurfing di negara yang saya tuju untuk melakukan hal yang sama. Sistemnya “take and give”, jika saat ini kamu menerima bantuan, nanti pada saat yang lain, kamu memberi bantuan kepada orang lain. Itu idealnya. Namun, sayang sekali saat ini Couchsurfing sudah disusupi unsur monetisasi dengan membership berbayar untuk anggota baru sehingga banyak anggota lama yang kecewa dan tidak aktif lagi.

Karena sempat menerima bantuan dari anggota Couchsurfing saat di Thailand dan Filipina, saat kembali ke Bandung, saya pun mulai aktif ikut gathering dan berinteraksi jika ada yang meminta rekomendasi lokal. Beberapa hari yang lalu, seorang couchsurfer yang bernama Susan (ya … another Susan) meminta bertemu untuk berdiskusi mengenai pengalaman saya mengajar bahasa Inggris di Thailand. Dari pertemuan satu berlanjut ke pertemuan lain. Saya pun memperkenalkan Susan yang akhirnya tertarik untuk ke Filipina, kepada Jimmy, seorang couchsurfer lain yang punya banyak pengalaman di Filipina. Tidak berhenti sampai di sana. Seusai pertemuan itu, rantai perkenalan pun berlanjut ketika Susan mengenali seorang pria yang ditemuinya dalam sebuah Couchsurfing Gathering beberapa hari sebelumnya dan mengenalkannya kepada saya dan Jimmy. Oke, silakan ambil waktu sejenak untuk memahami rantai perkenalannya.

Menariknya, kami bertiga sebenarnya sudah membicarakan pria tersebut saat mengobrol. Kata Susan (yang itu, bukan saya), “Kemarin waktu ada Couchsurfing Gathering, aku ketemu seorang laki-laki dari Australia. Dia kerjaannya nulis guide book gitu. Terakhir dia keliling Bali tiga bulan untuk menulis panduan wisata tentang Bali dalam bahasa Inggris untuk sebuah situs web internasional. Asyik banget, ya, kerjaannya.” Siapa yang menduga kalau pria yang dibicarakan tersebut merasa gatal kupingnya dan tiba-tiba tergerak untuk membeli sepotong kue dari kafe tempat kami bertiga mengobrol, padahal waktu itu sudah pukul 9.00 malam.

Singkat cerita, setelah beberapa kali bertemu dalam satu atau dua Couchsurfing Meetup, akhirnya hari ini saya ada janji ngopi berdua dengan Adam, si pria Australia yang katanya penulis guide book itu.

Buru-buru saya melangkahkan kaki menuju Kopi Progo yang hanya berjarak 100 meter dari tempat saya mengajar. Bertepatan dengan sampainya saya di sana, Adam pun terlihat baru tiba dengan menggunakan ojek.

“Hi, how are you?”

Lihat selengkapnya