Bad Girl

Leni Aulia Ayu
Chapter #2

It's Fate #2

“Dia anak FEB di UI. Sekelas sama gue,” terang Dimas sekembalinya dari memesan dua mangkuk bakso. Dia langsung menaruh makanan lezat dan murah itu di depan Fania yang tampak kelaparan seperti belum makan berabad-abad.

“Jadi lo satu kelas sama dia?” Fania mendelik takjub dengan ucapan Dimas.

Soalnya dia dan Dimas juga sama-sama kuliah di UI. Bedanya Fania memilih jurusan psikologi, yang jelas-jelas tidak cocok untuknya mengingat betapa buruknya perilakunya selama ini. Sedangkan Dimas memilih jurusan manajemen keuangan. Saat ditanya alasannya, cowok itu cuman asal-asalan menjawab. Katanya, sebagai calon kepala keluarga nantinya dia harus bisa mengatur segala persoalan uang dengan baik. Tapi kan untuk itu, tidak perlu harus repot-repot kuliah segala! Di luaran sana ada banyak orang dengan jenjang pendidikan yang biasa tapi sangat ahli memanajemen keuangan. Jadi saat Fania mendengarnya, dia cuman bisa menarik nafas panjang, menyayangkan bakat Dimas sebagai barista.

“Lo jangan aneh-aneh deh sama dia. Dia itu cowok baik-baik.” tegas Dimas tidak ingin Fania berbuat macam-macam dengan Satria.

Mereka memang tidak kenal secara pribadi. Hubungannya dengan Satria cuman sebatas teman satu kelas, dan realitasnya mereka berdua tidak benar-benar saling mengenal di kehidupan nyata, selain nama masing-masing yang jelas siapapun juga tahu. Tapi melihat perilaku Satria yang pendiam dan tidak banyak tingkah selama ini, Dimas menarik kesimpulan kalau cowok itu adalah cowok baik-baik.

Fania mendelik tajam, merasa dituduh ingin berbuat jahat dengan Satria. Dia sih sudah terbiasa dianggap sebagai antagonis oleh orang lain, bahkan sebutannya di kampus jauh lebih parah berkali-kali lipat daripada di bar. Di bar, Fania hanya dianggap sebagai cewek gila, tapi di kampus ini, Fania menerima banyak sebutan yang tidak mengenakkan hati. Bermacam-macam pula, ada jalang, pelacur, dan juga sebutan lainnya yang merendahkan martabatnya sebagai seorang cewek. Tapi Fania tidak pernah memperdulikannya. Selain karena fakta itu memang benar adanya, dia juga merasa tidak perlu menjelaskan apapun pada siapapun.

Tapi saat tuduhan itu keluar dari mulut Dimas, hatinya bergejolak tidak terima. “Emang gue mau ngapain dia?” tanyanya diplomatis.

Dimas yang mendengarnya menggelengkan kepala. Seolah semua orang di kampus ini belum tahu tingkah polah sahabat kecilnya itu selama ini. Dimas mengabaikan ucapan Fania dan lanjut makan. Kalau terus meladeninya, bisa-bisanya baksonya -yang dipesan susah payah karena harus mengantre dengan mahasiswa dan mahasiswi lainnya, jadi mubadzir.

“Udah, makan dulu aja.” ujar Dimas.

Sambil makan, Dimas membuka buku catatan pelajarannya. Dia membaca rentetan kata yang ditulisnya dengan penuh khidmat. Jam 1 nanti mata kuliah pak Sutomo, dan kabarnya ada kuis dadakan. Dosen pengampu mata kuliah statistika bisnis itu terkenal killer dan pelit dalam memberi nilai. Juga sangat anti memberikan remedial. Makannya Dimas bersusah payah menghapal sekarang.

Melihat Dimas yang khusyu belajar, Fania tidak punya pilihan lain selain makan dalam diam. Dia tidak ingin menganggu konsentrasi Dimas, meskipun tenggorokannya gatal ingin bicara.

Beberapa menit kemudian, cowok yang semalaman ini bersemayam di atas kepalanya mendadak muncul di kantin. Dia memakai kemeja kotak-kotak dan memadukannya dengan celana jeans. Seperti biasa dia juga memakai kaca mata minusnya. Dan dia sedang mengantre di warung nasi uduk.

Fania dengan cepat menghampirinya.

Lihat selengkapnya