Helena menghirup napas dalam-dalam saat menginjak pelataran Candi Borobudur. Ibunya, yang berkebangsaan Indonesia, sering kali bercerita tentang peradaban tempat ini. Setiap kali sang ibu merindukan Indonesia, keunikan dan keberagaman negeri kepulauan itu menjadi topik utama.
Helena tersenyum lebar. Setelah sekian lama, akhirnya dia bisa mengunjunginya. Impian sedari kecil, meski kunjungan tersebut dalam rangka kerja.
"Hei, Guys. Welcome to the greatest temple in the world, Bodobudur temple. Woo!! Lets go!"
Begitulah dia, Helena Geraldo, putri satu-satunya dari keluarga Geraldo. Gadis berkebangsaan Jerman yang telah berkeliaran ke berbagai negara sebagai tour guide. Helena mengaku sangat menyukai pekerjaan itu. Alasannya simpel, dia suka jalan-jalan dan menikmati ciptaan Tuhan. Selain itu, berwisata ialah salah satu caranya menyingkirkan kepenatan di rumah.
Hampir setiap hari, ayahnya pulang dalam kondisi mabuk. Helena kesal, sebab kebejatan sang ayah tak sampai di situ saja. Seminggu yang lalu, dua pria mendatangi rumahnya untuk meminta uang. Mereka berkata, bahwa sang ayah telah berutang sebanyak jutaan euro.
Entah berjudi atau narkotika, Helena muak dan pergi sebelum mengetahui apa pun yang terkait dengan utang itu. Dia bahkan enggan mengetahui asal usul sang penagih. Cukuplah dia dimanfaatkan selama ini. Bertahun-tahun Helena tak pernah menikmati hasil jerih payahnya. semua tabungannya habis hanya untuk kesenangan fana sang ayah.
Di hari sebelum keberankatannya ke Indonesia, Helena telah memutus ikatan dengan ayahnya. Dia berjanji pada Laura, ibunya, sepulang dari Indonesia, mereka akan menyewa flat kecil di pinggir kota dan tinggal bersama.
"Mom, besok aku pulang. Akan kubawa Indonesia kepadamu," gumam Helena. Dia usap air mata di pipi, lalu memasukkan kamera ke ransel sambil berjalan cepat menuju kelompoknya.
Tiba-tiba, kesialan menimpa Helena. Di sudut Candi Borobudur, seseorang--yang entah sengaja atau tidak--menyenggol tangan Helena. Akibatnya, kamera kesayangan jatuh menggelepar di lantai. "Oh, my Lord!"
Helena bergegas memungut benda itu, lalu memeriksa kondisinya. Naas, lensa kamera retak. Bergegas Helena mendongak. Ah, tidak ditemukan siapa pun di sekitarnya. Bahkan hingga beberapa meter dia berjalan ke arah orang itu.
"Ah, bagaimana ini?" keluh Helena dengan air muka menyedihkan. Dia berjalan dengan kepala menunduk, lalu berhenti di undakan. Dia jatuhkan pantat, duduk memelut lutut.
"Hi, What's happen with you?" tanya Zein, salah satu pelancong di kelompoknya. Pemuda berambut kecokelatan itu duduk di samping Helena.
"Kameraku rusak," sahut Helena malas.
Zein merebut kamera dari tangan pemandu wisatanya. Dia membolak-balik benda itu, lalu melepas beberapa bagian. Sesaat kemudian, dia menemukan kerusakan yang cukup membuat hasil foto tak sempurna. Zein lantas membuka ranselnya.
"Pakai punyaku," ucap Zein sembari menyodorkan kamera miliknya.
Helena galau. Dia membutuhkan kamera, tetapi tak ingin menggunakan milik orang lain. Apalagi pria itu ialah tamunya. Tentu bukan suatu hal yang pantas. Bagaimana kalau atasan Helena mengetahui? Teguran keras jelas akan menanti.
"Tidak apa-apa. Aku bisa menggunakan kamera ponsel," tolak Helena,
"Kau yakin dengan itu." Zein melirik ponsel Helena. Kamera android di tangan gadis itu memiliki resolusi kecil. Gambar yang diambil jelas akan pecah jika diperbesar dan tak cukup bagus untuk dicetak.