"Haruskah kita mendarat di sana?"
Julian mengernyit, memaksa otot-otot di sekitar mata menyatu pada satu titik. Dia benci jika harus mengulur waktu demi sesuatu yang tak penting, sementara satu kontainer kokain akan segera mendarat di Sicilia. Siapa yang harus mengurus barang celaka itu jika dia masih berkeliaran di atas perairan Indonesia?
Pria 29 tahun dengan garis mata tegas itu menyerahkan tubuhnya ke dalam pelukan sandaran kursi sambil membuang napas. Dia menyugar rambut, lalu meletakkan sebelah tangan di atas kepala. Menurut Julian, pekerjaan lebih penting dari apa pun. Dia tak suka bermain-main dalam hal ini.
"Keparat itu sengaja meninggalkan dompetnya agar kamu menyisihkan waktu untuk berlibur. Bukan begitu, Dom?" sahut Mores.
Pemuda dengan rambut pirang dan iris abu-abu tersenyum lebar. Dia memandang Julian dan berkata, "Orang-orang kita telah mengurus kedatangan kontainer itu dengan baik. Jangan khawatir!"
Bujukan Dom tak mengubah kekukuhan hati Julian. Dia gelisah. Di bawah pantatnya seperti ada batu-batu kerikil yang sama sekali tak membuatnya nyaman. Padahal, interior pesawat dipilih dengan kualitas terbaik. Firasatnya berkata, akan terjadi hal buruk jika dia tak datang tepat waktu.
"Apa Ayah masih di Itali?"
"Don Bronto masih rapat di sana. Dia berkata kepadaku akan mampir ke Jerman untuk menemui Thorcelli. Ah, aku ingin sekali menguliti pria itu. Kasino tak berjalan mulus di tangannya." Mores mengangkat gelas kristal, lalu meneguk bourbon hingga tak tersisa.
Kekhawatiran Julian seakan telah menemukan alasan. Pria itu kembali membujuk Mores dan Dom. "Kita ubah rencana. Terbangkan jet ini ke Jerman!"
"Ayolah, Julian. Kecemasanmu sungguh tak masuk akal. Thorcelli tak akan berani menyentuh Don Bronto. Seinci pun tidak. Dia manusia tak bernyali. Sepertinya, Elmira benar. Kamu butuh refreshing."
Ucapan Dom telah memenjara dirinya. Dan, ya, mungkin Dom benar. Dia butuh menyisihkan sedikit waktu untuk bersenang-senang.
Kehidupan keras yang selama ini dia jalani terlalu membosankan. Membunuh atau dibunuh, pedoman yang dipegang teguh oleh dirinya dan orang-orang dari kalangan mereka. Beberapa bulan terakhir saja, peperangan terjadi di antara mereka. Thorcelli menjadi salah satu yang berhasil ditaklukkan. Pria tua yang hobi merenggut gadis-gadis muda dari orang tuanya, telah tunduk di bawah kaki klan Moximus.
Jet pribadi mendarat di Yogjakarta International Airport. Di sayap belakang kendaraan mewah itu tertulis 'Moximus' dengan logo M terkurung lingkaran berwarna merah. Ketika pintu jet terbuka dan turun perlahan di landasan, dua mobil Range Rover berhenti di depannya.
Julian menginjak undakan pertama pintu pesawat. Sesaat dia berhenti di sana. Dia pandangi landasan yang baru pertama kali disinggahi. Satu per satu kancing jas terpasang sempurna. Julian melanjutkan langkah, menyapa sopir yang menunduk hormat kepadanya.
Kedua mini bus meninggalkan bandara, menyusuri jalanan kota Yogjakarya. Julian tak mengamati apa pun. Pandangannya kosong seperti hati yang tak pernah terisi. Sementara di sampingnya, Mores sibuk menelepon seseorang yang hendak mereka temui.
"Borobudur temple, please!" ucap Mores kepada sopir sewaan.
"Oke, Sir," jawab sopir.
"Temple?" Julian dibuat tak percaya dengan tempat yang hendak mereka singgahi.
"Dia di sana. Sepertinya, itu bukan tempat yang buruk untuk dikunjungi."
Tak lagi terlihat perlawanan dari Julian. Pemuda beriris cokelat cerah itu menurut, sementara batinnya ingin menendang bokong manusia sialan yang mengharuskan mereka singgah di kota itu. Dia berutang banyak untuk ini dan Julian siap menagih dengan cara yang brutal.
***