"Helena!"
Langkah Helena tertunda. Dia berputar arah dengan harapan suara itu berasal dari Laura. Namun, dia salah menduga. Suara lembut itu milik tetangga sekaligus sahabat ibunya. "Sarah?"
Helena terheran. Air muka Sarah tak seperti seseorang yang hendak menyambutnya dengan pelukan hangat. Dia seperti baru saja menghadiri pemakaman atau semacamnya. Pundak Sarah sedikit turun. Terlihat kepedihan yang dalam di matanya.
Sarah berlari menyergap Helena dan menangis dalam dekapan.
"Ada apa, Sarah? Apa yang terjadi kepadamu?" tanya Helena.
"Aku melihat mereka."
Kedua tangan Helena berpindah ke pundak Sarah. Dia tatap lekat-lekat mata wanita tengah abad itu. "Sarah, siapa yang kamu maksud dengan mereka?"
Dua menit berlalu, Sarah masih diam dengan kepala tertunduk. Helena memutar pandang. Tak banyak kendaraan yang melintas di jalan. Pun orang yang berlalu lalang. Usai memastikan keadaan sekitar, Helena menarik lengan Sarah, membawanya masuk ke dalam rumah.
Ketika hendak menyalakan lampu, Helena mengingat posisi terakhir Laura saat menjawab teleponnya. Hari itu, Laura duduk di sofa. Satu-satunya kursi empuk itu terletak persis di depan. Jarak dari kakinya hanya dua depa.
Helena menghela napas panjang. Tak ada aroma anyir atau pun busuk yang mampir di hidung. Ruang itu masih beraroma cytrus, wewangian kesukaan Laura. Dia lantas berpikir, Aku pasti kelelahan hingga mata ini tak berfungsi dengan benar. Helena menggelengkan kepala, lalu menekan sakelar di samping kanan.
Ketika cahaya neon menerangi ruang itu, Sarah beringsut mundur. Dia berhenti di depan pintu dengan kedua tangan mengepal. Tubuhnya gemetar. Bola matanya tak berkutik, seakan-akan melihat sesuatu yang mengerikan di sana.
Helena tak mengerti kenapa wanita yang selalu ceria itu bersikap demikian. Padahal, semua masih sama. Sofa panjang berwarna biru tak bergeser barang seinci. Helena yakin itu. Begitu pun saat dia melihat barang-barang koleksinya di lemari kaca. Tak ada perubahan berarti, kecuali jaket ayahnya yang tergeletak di sofa. Itu juga sudah jadi kebiasaan.
Dia bernapas lega sebab tragedi yang sempat dibayangkan sebelumnya, tidak benar-benar terjadi. Lalu, di mana Laura?
Aneh. Jelas-jelas Helena melihat pria kulit hitam itu mengarahkan pistol ke ponsel Laura. Dan sesaat kemudian, panggilan video terputus. Sangat tidak masuk akal jika itu hanya sebuah halusinasi. Apa mungkin itu delusi?
"Tidak mungkin." Suara Sarah menarik perhatian Helena.
"Apa maksudmu, Sarah?"
"Mereka datang kemarin. Pria-pria itu mengenakan pakaian serba hitam dan rapi. Aku melihatnya saat hendak membeli roti di mini market. Gelagat mereka mencurigakan. Jadi, aku memutuskan kembali ke dalam rumah." Sarah berjalan perlahan menuju sofa. "Namun, Brian tak setuju dengan keputusanku. Dia menangis dan menginginkan camilan secepatnya. Jadi, aku beranikan diri keluar dengan hati-hati. Baru beberapa langkah dari pintu belakang, aku melihat salah seorang dari mereka menodongkan pistol ke Laura di sini." Sarah menunjuk sofa.
"Cukup, Sarah!" segah Helena.