Namanya Kenzi Aurelia Rizkia Putri, kelas XI IPA 3. Tiga hari yang lalu ia baru saja pindah sekolah ke SMA Favorit Persada yang berada di pusat kota Jakarta. Kota yang amat ia benci. Selain pusat kota itu selalu mementingkan politik, ia juga tidak mau meninggalkan kenangannya begitu saja di kota kesayangannya. Daerah Istimewa Yogyakarta.
Awalnya Kenzi menolak mentah-mentah keinginan orangtuanya, sampai ia bertekad untuk tinggal di Yogyakarta seorang diripun tak masalah. Namun tetap saja itu namanya ide gila.
“Aku nggak suka Jakarta! Semestinya kalian tahu. Jakarta adalah mimpi buruk bagiku,” kata Kenzi setelah mengusap air matanya yang telah berlinang jatuh dipipinya.
“Kalau Papa tak dipindah tugaskan ke sana, papa juga nggak akan meninggalkan Jogja,” jelas papanya. Berusaha memberi pengertian pada anak bungsunya.
Namira, mama Kenzi yang masih berusia 35 tahunan, rasanya ikut bersedih melihat keadaan anak bungsunya seperti ini. Kenzi tak biasanya menangis seperti sekarang, namun ia juga tidak bisa berpihak pada Kenzi, bagaimanapun juga perusahaan suaminya adalah perusahaannya juga. Ia tidak akan mau jika hanya suaminya saja yang mengurus perusahaannya. Kali ini Namira masih sibuk mengusap-usap kepala Kenzi yang masih menangis meraung di pangkuannya.
“Kalau keputusannya nggak bisa diubah sama sekali, izinkan aku untuk tetap tinggal di sini. Aku janji, aku akan menjaga diri baik-baik, aku akan membersihkan rumah ini setiap hari.” Kenzi masih menyerocos tak juga berhenti. Ia masih kekeh dengan keinginannya.
Rizki tahu anak bungsunya memang keras kepala, sekalinya ia memiliki keinginan maka keinginan tersebut harus tercapai. Tetapi kali ini beda, bagaimana mungkin Rizki tega meninggalkan Kenzi seorang diri di Jogjakarta. Terserah walaupun Jogjakarta punya embel-embel romantis ataupun daerah Istimewa, meninggalkan anak perempuan sendiri bukan ide yang baik.
“Nggak bisa sayang, kamu harus ikut. Ayolah untuk sekali ini saja, lagian kita masih di Indonesia, kapanpun kamu boleh berkunjung ke Jogjakarta kalau kamu mau yang penting kamu harus ikut kita, Key,” Rizki masih juga membujuk.
Kenzi menatap ke depan dengan tatapan kosong, sepertinya kali ini ia akan kalah dari orangtuanya. Kenzi meyakinkan apa pun, tetap saja Rizki dan Namira tak menyetujui keinginannya. Ah, rasanya itu mimpi buruk. Bahkan lebih dari buruk
“Ayolah Key, berpikir lagi. Jakarta nggak seseram apa yang kamu pikirkan,” kata Namira.
“Terserah kalianlah, toh aku nggak mau juga kalian tetap memaksakan kehendak,” sahut Kenzi seraya mengusap air mata dengan tangannya. Sebelum akhirnya ia bangkit dan berjalan menuju kamarnya.
---
Kenzi berjalan sendirian menuju sekolah, hari ini langit berwarna biru cerah, angin sepoi sesekali membelai rambutnya yang lurus dan sesekali membuat poninya berantakan. Dan yang harus dicatat baru kali ini Kenzi merasakan lagi angin sejuk seperti ini, dan ia yakin cuaca seperti ini tak akan bertahan cukup lama.
Vino sengaja berangkat duluan karena alasan Kenzi telat bangun, ah ini Jakarta. Bahaya membiarkan perempuan cantik berjalan sendirian.
Kenzi mengambil sapu tangan mickey mouse-nya dari dalam saku rok abu-abu. Ia mengelapnya ke bagian dahi yang mulai berkeringat karena panas, benar saja dugannya, kesejukkan di Jakarta tak akan pernah bertahan lama. Ia juga belum terbiasa merasakan usasana pagi seperti ini, walau seharusnya ia sudah siap melihat kemacetan setiap hari. Polusi, debu, ah rasanya Kenzi ingin berteriak sekencang-kencangnya membayangkan hidupnya yang akan berubah menjadi mimpi buruk yang paling buruk.
Kenzi membelalakkan matanya saat melihat gerbang sekolahnya tertutup rapat. Maksudnya apa, sih? Ia berlari menelusuri jalan yang kian ramai karena kendaraan para pekerja yang semakin padat.
Napasnya kian tersengal-sengal saat telah sampai di depan gerbang setinggi dua meter itu. gerbang berwarna coklat muda itu sudah benar-benar tertutup rapat.
“Ah, mimpi buruk gue sekolah di sini.” Kenzi memaki sendiri.
Ia berdiri di depan gerbang sekolahnya tanpa melakukan apa pun. Ia memandang ke bagian dalam sekolahnya, bangunan yang tinggi itu sudah sepi, tak ada satupun siswa maupun siswi yang berjalan ditengah lapangan atau hanya sekedar lewat di depan koridor.
Kenzi melirik arloji abu-abunya, ia membelalakkan matanya saat melihat jarum pendek tepat berada di angka delapan. Ah, pantas saja Vino meninggalkan dia. Kenzi sudah telat satu jam setengah, berarti lima belas menit lagi sempurna sudah ia meninggalkan dua jam pelajaran matematika.
Kenzi membalikkan tubuhnya, ia tak berniat untuk berusaha memohon-mohon pada satpam untuk membukakan gerbang untuknya, ia paling malas mengeluarkan suaranya hanya untuk hal-hal yang sia-sia. Kalau telat, ya sudah berarti dia tak bisa mengikuti pelajaran hari ini. Selesai kan? Sebenarnya hidup itu simpel, hanya orang-orang yang bodoh lah yang menilai kalau hidup itu keras.
Baru saja Kenzi hendak pergi meningalkan gedung bertingkat lima itu, kedua matanya mennagkap sebuah mobil sport putih yang baru saja berhenti di depan gerbang. Kenzi menggugurkan niatnya saat seseorang dari dalam mobil itu tengah berusaha membuka pintu mobilnya.
Seorang siswa laki-laki, ia memiliki postur tubuh yang tinggi, matanya bulat berwarna hazel, kulitnya putih serta memiliki hidung yang sangat mancung. Kenzi terdiam mematung memandangi ciptaan Tuhan yang amat indah itu.
Laki-laki itu berjalan mendekati gerbang tanpa melirik Kenzi yang berada ditepi gerbang itu sedikitpun. Tak lama kemudian, siswa itu mengeluarkan kunci dari dalam saku celana abunya kemudian membuka pintu gerbangnya dengan mudah.
“Hah?” Kenzi terkejut dengan apa yang barusan dilihatnya. Ia langsung menutup mulutnya saat laki-laki itu menatapnya dalam. Mudah sekali laki-laki itu melakukannya. Kalau setiap siswa maupun siswi diberi kunci cadangan, untuk apa ada tata terbit harus berangkat tepat pada waktunya. mereka bisa berangkat jam berapa pun sesuka hatinya, mungkin jam sembilanpun mereka masih bisa tetap menembus gerbang.
Laki-laki itu tak memperdulikan Kenzi, ia langsung membuka pintu gerbangnya lebar-lebar, setelah itu ia kembali berjalan menuju mobilnya dan masuk ke dalamnya. Kenzi masih juga memperhatikan siswa itu. Laki-laki itu belum juga menyalakan mesinnya, tak lama kemudian Kenzi melihat laki-laki itu membuka setengah kaca mobilnya. Ia menatap ke arah Kenzi.