Erdi mengikuti Anya dari belakang. Diam-diam, dia memergoki istrinya yang sedang serius mengetik sebuah pesan singkat. Setelah pesan terkirim, Anya terkejut melihat suaminya sudah berdiri di belakangnya, sambil menyilangkan kedua tangannya di dada.
“Dek, kamu kenal sama Pak Jhody?” tanya Erdi mencari tahu.
“Hah? Pak Jhody?” Anya membelalak kaget mendengar pertanyaan yang dilontarkan Erdi kepadanya.
“Iya. Kulihat kalian berdua akrab sekali tadi. Seperti udah kenal lama aja,” terka Erdi.
“Ah, masa sih? Mas salah lihat kali. Jangan baper, Mas!” sangkal Anya. Dia berusaha menutup-nutupinya dari Erdi.
Tatapan mata Erdi terus mengarah ke wajah Anya yang mulai gelagapan ditodong pertanyaan itu. Seolah-olah, Erdi sedang menginterogasinya saat ini. Anya memalingkan wajah. Guna untuk menyembunyikan perasaan tidak enaknya pada Erdi.
“Mas nggak baper. Cuma heran aja. Kalian cepat sekali akrabnya. Padahal, Mas belum pernah ngenalin kamu ke dia.” Erdi berjalan meninggalkan ruang tengah menuju kamarnya.
Erdi tidak ingin menanyakan lagi sesuatu yang tidak penting itu pada istrinya. Dia ingin menghindari pertengkaran. Meski pertanyaan itu selalu memenuhi seluruh ruang di otaknya.
Sesekali Erdi menoleh ke arah Anya, sebelum masuk melihat putrinya yang sedang tertidur lelap di kamar. Anya terdiam. Membisu seketika. Perasaannya kini campur aduk. Antara bingung harus menghadapi kecurigaan Erdi yang berlebihan dan sikap Jhody yang tiba-tiba mengajaknya ketemuan di lain hari, di luar rumah.
‘Gawat! Mas Erdi mulai curiga. Apa yang harus kulakukan sekarang?’ Anya bimbang.
Ah, tidak baik jika terus menerus memikirkannya. Anya memilih untuk tidak menghiraukan pesan yang dikirim Jhody kepadanya. Dari pada menimbulkan masalah dengan suaminya di kemudian hari, dia memilih untuk tidak meladeni Jhody. Dia berusaha menghormati dan menghargai Erdi sebagai suaminya.
***
Erdi tidak bisa berdiam diri terus menerus. Dia harus berusaha mencari solusi atas permasalahannya saat ini. Malam itu, dia belum tidur. Sudah hampir larut malam, dia masih duduk santai di teras rumah.
Sambil menyesap rokok, Erdi sedang memikirkan masa depannya. Dia melamun sambil menerawang ke angkasa raya. Ada banyak bintang di langit yang berkelap-kelip di atas sana. Sama seperti masalah-masalah yang kini tengah dipikirkannya. Mulai dari pekerjaan, kesejahteraan keluarganya, dan nafkah untuk istri juga putrinya.
“Mas, belum tidur?” sapa Anya dibalik pintu. Dia melihat suaminya sedang duduk sendirian di teras.
“Mas nggak bisa tidur, Dek,” sahut Erdi.
“Lagi mikirin apa sih, Mas? Kenapa nggak pernah cerita lagi sama Adek?” Anya duduk di kursi rotan satunya lagi, tepat di samping Erdi.
Erdi menggeleng. “Mas nggak mau kamu jadi terbebani dengan masalah ini. Ya udahlah, kamu istirahat aja di dalam. Jangan duduk di sini, nanti kamu masuk angin, Dek!”
“Adek nggak bisa tidur kalau Mas belum tidur. Mending sekarang, Mas ikut Adek ke kamar, yuk!” bujuk Anya.
Erdi tersenyum menanggapinya. “Kamu duluan aja. Kasihan Andara ditinggal sendirian. Nanti dia bangun. Mas mau bikin konsep bisnis dulu.”
“Tapi, jangan lama-lama Mas! Mas juga kan harus istirahat malam ini. Nanti kalau Mas sakit, Adek juga yang repot,” keluh Anya.