Bad Romance

Mizan Publishing
Chapter #2

Bab 2

KATYA

 Gue enggak ngerti. Sama sekali enggak ngerti kenapa men­ dadak jadi dodol begini. Kenapa gue setuju-setuju aja sama tantangan Nathan? Apa kata orang-orang coba, kalau gue mendadak­ kelihatan berduaan sama cowok kayak dia? Astaga, gue habis kepentok di mana, sih? Ya, ampun!

  “Heh!” Suara Eriska mendadak ada di sebelah gue, bikin gue terlonjak kaget. Gue memukul bahunya pelan, “Enggak usah ngagetin, bisa enggak, sih?” 

Eriska terkekeh. “Sorry,” ujarnya. “Itu tadi apaan sih, rame-rame? Pake lirik-lirik lo segala. Ada gosip apa, sih?”

  Mampus lo, Kat. Kelar hidup lo. “Eng ... itu ..., enggak tahu, deh. Tanya aja sama mereka,” jawab gue gugup. Eh tunggu, jangan ditanya deng. Nanti kalau Eriska tahu, kan, berabe. Bisa-bisa gue habis diledekin.

  “Kenapa sih lo? Habis ngeliat Kai sama cewek?” tanya Eriska heran.

  Gue membenarkan letak poni sebelum menjawab per­ tanyaannya­. “Enggak. Enggak apa-apa.”

  Eriska menatap gue curiga selama beberapa saat, sebelum mengalihkan topik pembicaraan. “Eh, tahu enggak? Tadi gue enggak sengaja papasan sama Nathan. Ya, Tuhan, ganteng amat. Enggak kuat hati Hayati lihatnya.” 

Idih, yang kayak begitu lo bilang ganteng? Yang ganteng tuh kayak Kai, kali! Gila, pemuda harapan bangsa, nusa, dan agama banget, Ris,” balas gue, melirik kepada Kai yang sedang mendengarkan lagu di mejanya. Sumpah demi apa pun juga Kai udah pacar-able banget. Udah ganteng, pinter, wakil ketua OSIS, ah udahlah. Apa, sih, yang kurang? Beda banget sama Nathan.

  Kalau Nathan, tuh, ganteng sih, hm, lumayan. Tapi bolot. Udah gitu, berandalnya keterlaluan. Kan, malu, punya pacar yang kerjanya bikin onar terus. Ya, walaupun cuma pura-pura, kan tetap aja, malu-maluin.

  “Ya udah sih, ganteng itu relatif. Selera cewek itu beda-beda,” protes Eriska.

 “Ya, tapi yang kayak gitu tuh, enggak banget deh, Ris.” Eriska mendelik. “Idih, terserah lo deh.”

  “Ehm, Katya ada?” Tiba-tiba, suara bariton Nathan ter­ dengar dari pintu. Gue menoleh. Di sana ada Nathan yang kali ini enggak bareng sama Rio dan Leon, dan dia udah bawa-bawa tas segala. Wah, gue harus cepat-cepat kabur dari sini.

  Nathan berjalan ke arah gue dengan senyum dikulum. Manis sih, sempat bikin gue lupa diri untuk sesaat. Tapi kemudian, remasan kuat tangan Eriska menyadarkan gue dari semuanya.

  “Yuk, balik!” katanya. Gue menoleh ke arah Eriska yang menatap gue penuh tanya.

  “Enggak usah. Gue dijemput,” kata gue bohong. Gue enggak begitu yakin Agatha bisa jemput, mengingat tu­gas-tugas kuliahnya numpuk. Tapi, daripada balik sama nih kunyuk, mending gue balik jalan kaki sampai gempor.

  Nathan menaikkan sebelah alisnya dengan tampang sok ganteng. Ih, amit-amit. Dosa apa gue harus terjebak sama yang kayak begini?

 Seriously, dude. My life is a nightmare.

 “Siapa yang jemput lo? Udah batalin aja, lo balik sama gue!” katanya, memerintah.

  Gue mengernyit, berusaha menunjukkan ekspresi ter­ ganggu. “Idih, emangnya lo siapa? Gue bisa balik sama siapa pun yang gue mau. Obviously, itu bukan lo.” Tepat saat itu, handphone gue berdering. Agatha.

Emang ya, doa anak salehah didengar. Gue dikasih ja­ lan untuk menghindari Nathan. Gue menampilkan senyum meremehkan, yang langsung dibalas Nathan dengan tatapan sinis.

 Tanpa memedulikan tatapannya, gue mengusap layar handphone­ lalu menempelkannya ke telinga. “Halo?” sapa gue. Di seberang sana, suaranya berisik banget, kayak lagi konser.

  “KATYA!” Aga berteriak. Ya maklum, kalau enggak gitu suaranya enggak bakal kedengaran.

  “Lo di mana? Astaga ...,” balas gue seraya menjauhkan handphone dari telinga, menghindari risiko kerusakan gen­ dang telinga.

  Enggak lama, suara Agatha terdengar lagi. Kali ini lebih senyap dan dia enggak teriak-teriak lagi. “Duh sori, gue lupa ada acara. lo balik naik taksi, enggak apa-apa, kan? Ada uang­ nya, enggak?

  Mampus! Ini niatnya mau menghindari Nathan, kok, malah makin kejebak, sih? Gue menghela napas, “Ya, udah deh.”

  Gue lalu langsung mematikan telepon. Bete. Pokoknya Agatha harus beliin gue es krim sekontainer habis ini. Huft, gue salah apa sampai dikasih hukuman terjebak sama orang kayak Nathan, sih?

 Gue melirik Nathan.

 “Jadi?” tanyanya dengan senyum yang luar biasa me­ nyebalkan.

 “Gue mau balik naik taksi aja.” Gue langsung berjalan ke luar gerbang, dan berdiri di pinggir jalan untuk nunggu taksi. Secara ajaib, Nathan enggak ngikutin gue lagi.

  Tapi, enggak lama kemudian, terdengar suara motor. Ya, lo tahulah motor-motor sport yang bunyinya ngegerung banget. Pokoknya motor standar cowok-cowok ganteng dunia pernovelan. Motor siapa lagi kalau bukan Nathan?

 “Buruan naik!” perintahnya seenak jidat.

 “Enggak mau,” jawab gue. Ya, kali, emangnya gue se­ gampang itu dibujuk naik ke motor cowok? Apalagi motor cowok kayak Nathan. Ogah, deh. Yang ada juga dia cari ke­ sempatan dalam kesempitan, mepet-mepet sama gue. 

“Udah, naik deh. Lo mau pulang apa enggak, sih? Enggak akan ada taksi jam segini. Penuh!” katanya, masih ngotot. Gue sama sekali enggak menghiraukan ucapannya.

  “Enggak mau. Gue mau balik naik taksi aja,” jawab gue, keukeuh. Pokoknya atas dasar alasan apa pun kecuali kepepet level expert, Katya enggak akan pernah mau boncengan sama Nathan. Titik.

  Cowok itu berdecak. “Ya udah. Udah bagus ya, gue nawarin­ lo. Kalau enggak mau, gue duluan deh. Daaah!” katanya seraya berjalan pergi.

  Tuh, kan, bukan tipe cowok idaman banget. Di mana-mana juga, kalau ceweknya enggak mau diantar pulang, ya ditungguin, lah. Masa ceweknya ditinggal sendirian? Kalau gue diculik sama om-om gimana? Ih. Kalau ada Kai, dia pasti enggak bakal biarin gue nunggu sendirian di sini. Dia pasti bakal nemenin gue atau dia yang nyariin taksi.

  “Ehm, Katya?” Pucuk dicinta ulam pun tiba. Ihiw, pan­ jang umur nih Kai. Baru juga dipikirin udah nongol aja. Apa jangan-jangan gue sama doi punya ikatan batin, ya? Hm, bisa jadi ..., bisa jadi.

 Gue tersenyum kecil. “Hai, Kai!” sapa gue.

 Kai balik tersenyum. “Lo enggak balik?”

  “Mau, kok. Ini lagi nungguin taksi,” jawab gue. Yah, meskipun­ gue enggak begitu yakin bakal ada taksi lewat deket-deket sini, sih.

Lihat selengkapnya