“Eh! Aga, lo mau ke mana, sih? Masa gue ditinggalin?!” protes Katya. Dia baru saja menggambil setangkup roti, tapi Aga sudah langsung berjalan ke mobilnya. Padahal, ini masih pukul 6 lewat 15 menit.
“Gue ada janji sama Meyra. Dia ada kuliah pagi, jadi gue harus cepat. Lo sama cowok lo aja, ya! Apa gue kudu pesan taksi?”
Katya mendengus kesal. Gini, nih, ya, kalau punya Abang yang lagi kesengsem sama cewek. Adiknya dinomorduain. “Ya udah, pesanin tak....”
Tiiin ... tiiin....
Sebelum Katya sempat menyelesaikan kalimatnya, suara klakson motor terdengar dari depan rumah. Gadis itu menghela napas panjang.
“Noh cowok lo jemput. Asyik, gue udah enggak perlu lagi jadi sopir lo. Daaah!” kata Aga sambil berlalu. Katya menatapnya tidak terima.
“EH! AGA! JANGAN TINGGALIN GUE! GUE MAU IKUT SAMA LO AJAAA!!”
Agatha meringis seraya menutup sebelah telinganya. “Apaan? Kagak ah, entar gue telat! Bye!” katanya sebelum menghilang di balik pintu.
Kalau bisa, Katya udah nangis-nangis sambil garuk-garuk aspal, deh, kayaknya. Tega banget, sih, Aga ninggalin Katya sama makhluk beginian ....
“AGAAA!” teriak Katya sambil menatap mobil abangnya yang mulai menjauh.
“Ekhem ....”
Katya berdecak, mendelik sinis, lalu berbalik menatap Nathan yang seperti biasa terlihat urakan. Tapi entah kenapa penampilannya hari ini, agak-agak memesona. Kalau kata Eriska, charming gitu deh.
“Ngapain lagi lo di sini?!” sapa Katya ketus.
“Kan, gue pacar lo. Lo lupa?” balas Nathan dengan senyum dikulum. Kalau Katya adalah Eriska saat ini, pasti Katya sudah lupa diri. Namun, sayangnya, ini Katya. Bukan Eriska, dan bukan juga Kiara.
“Ya emangnya kenapa kalau lo pacar gue?” ucap Katya. “Itu masih enggak menjelaskan kenapa lo harus ada di sini sekarang.”
Nathan naik ke motornya lalu memakai helm, dan menyodorkan helm lainnya kepada Katya, bahkan tanpa berbicara apa pun.
Katya mengernyitkan dahinya. “Heh, lo bisu? Apa sakit gigi? Jawab gue!”
“Gue kan, mau jemput pacar gue yang paling cantik,” gombalnya.
Siapkan kantong muntah dalam tiga ... dua ... saaa ....
“Ew. Omongan lo tuh ya, geli banget! Mending lo diam kalau enggak mau gue tendang.” Katya berujar dengan galak. Sumpah demi apa pun, omongan Nathan emang geli. Bikin enek dengernya.
Katya enggak tahu aja, ini siasat Nathan. Nathan juga bisa tebak kali, kalau Katya tipe cewek yang enggak suka digombalin.
Makanya Nathan sok manis-manis, padahal mah dia juga geli ngomongnya. Like, hello, ini Nathan. Nathan yang enggak perlu ngomong apa-apa juga cewek-cewek pasti histeris. Tapi Katya? Boro-boro histeris. Ngeliatnya aja bawaannya mau nampol.
Dari awal, Nathan, tuh, sebenarnya penasaran sama Katya. Apa sih, yang sebenarnya bikin Katya enggak suka sama Nathan? Apa sih, yang enggak ada di Nathan menurut Katya?
Jawabannya, otak! Bagi Katya, Nathan itu satu dari se kian orang yang enggak punya otak. Enggak mikir, bahwa apa yang dia lakukan selama ini buang-buang uang orangtua. Enggak mikir, bahwa perbuatannya bodoh, dan apa yang dia perbuat itu mungkin aja nyakitin orang-orang.
“Cepat naik, kek! Entar kesiangan lho,” ujar Nathan. Katya hanya menatapnya. “Kata siapa gue mau berangkat sama lo?”
“Terus lo mau naik apa? Ini udah setengah tujuh,” balas Nathan.
“Ya naik apa aja, asal enggak sama lo.” Katya berusaha berjalan menjauh. Namun, Nathan kemudian mencekal tangan Katya, membuatnya diam tak berkutik.
“Apa, sih, enggak usah pegang-pegang!” Katya menarik tangannya.
Nathan berdecak. “Lo, tuh, ya, bukannya makasih gue jemput ke sini.”
“Lah siapa yang suruh lo ke sini? Toh, gue enggak minta.” Katya setengah berteriak, membuat Pak Tono yang tengah menyiram tanaman menatapnya penuh tanya.
“Gue udah bela-belain, bangun pagi-pagi buat jemput lo."
“Lah, penting banget gue tahu? Makanya bangun pagi-pagi tuh yang ikhlas. Buat shalat misalnya.”
Nathan menggeram kesal. “Udah, lo tinggal naik aja kenapa, sih? Udah telat!”
Katya tak mengacuhkannya, gadis itu malah sibuk dengan handphone-nya. “Biasanya juga lo telat. Pergi aja sana! Gue mau naik taksi aja.”
Nathan baru saja membuka mulutnya untuk bicara, tapi Katya menginterupsinya dengan menelepon taksi. “Halo, Mbak? Iya. Saya mau pesen taksi. Alamatnya....”
“Mbak, enggak jadi, ya! Makasih.” Nathan merebut hand phone dari tangan Katya, lalu seenaknya melanjutkan obrolan telepon.
“Enak aja lo main ambil handphone orang!” Katya menggapai handphone-nya yang dipegang tinggi-tinggi oleh Nathan. “Nathan! Resé banget sih, lo!”
“Bodo! Gue balikin HP, asal lo berangkat sama gue!” Katya mendelik. “Lo desperate banget ya, mau berangkat sama gue?”
“What if i say yes?” balasnya. “Buruan! Gue hitung sampai lima. Kalau lo enggak bilang iya, HP lo gue jual ke tukang loak,” ancam Nathan.
“Satu....”
“Dua....”
“Tiga....”
Pilih, Kat! HP atau berangkat sama Nathan?! Gadis itu membatin.
“Empat....”
Katya menggigit bibir bawahnya. “Li....”
“FINE!!” Katya segera meraih helm di jok belakang, sementara Nathan tersenyum puas. Ternyata, membuat Katya luluh tidak sesulit kelihatannya.
Pemuda itu lalu memberikan handphone kepada Katya sesaat setelah gadis itu menaiki motor. “Nih, HP lo!”
Nathan mendengus—setengah tertawa—dan kemudian men-starter motornya, mereka membelah jalanan Kota Bandung, dengan Katya yang sebisa mungkin menjaga jarak dari Nathan.
Sejujurnya, Katya tidak takut naik motor. Namun kali ini, rasa takutnya berlipat. Pertama, dia tidak bisa berpegangan kepada Nathan seperti dia berpegangan kepada Aga. Kedua, Nathan ngebut parah.
Katya memukul bahu Nathan kencang. “Nath, jangan ngebut-ngebut, bisa kali!”
“Ssst, kita udah telat!”
“Ck, kayak lo masih mentingin telat aja, sih.” Katya berujar dengan malas.
“Gue sih enggak, tapi lo kan, iya,” balas Nathan. Nathan meliriknya dari kaca spion.