Sebagai seorang pria normal, Ayah menyukai pertandingan sepak bola. Di tanah kelahiran menjelang hari perayaan Negara Indonesia, masyarakatnya sering mengadakan turnamen sepak bola. Ayah menyukai hal itu. Ia akan bersegera mengambil mug besar, dituangi kopi panas yang asapnya masih mengepul, lantas duduk di balkon. Pandangannya lurus ke arah lapangan hijau yang membentang di depan rumah. Jadi, rumahnya yang disusun menggunakan batu-batu kali dan semen itu terbangun di depan lapangan. Ayah tidak pernah melewatkan pertandingan sepak bola. Dia akan berteriak histeris ketika tim perwakilan kampung mencetak gol, suaranya meretakkan waktu senja, membuat burung-burung bergegas pulang ke belahan dunia barat. Ayah akan melompat dari posisi duduk, histeris kegirangan serupa bocah baru saja mendapat hadiah di hari ulang tahun.
Kecintaan Ayah kepada bola tidak bisa dibendung, sampai-sampai rambutku yang seharusnya panjang terurai serupa gadis kecil pada umumnya, sering dipotong cepak mirip pemain sepak bola. Aku merengut keberatan tetapi hal itu tidak menjadi masalah baginya. Ayah terus memotong rambutku yang mulai panjang.
“Ayah, aku ini anak perempuan! Jangan buat diriku tampil serupa laki-laki! Aku malu dengan teman yang lain!” protesku selepas potong rambut.
Ayah hanya menyeringai dan mengelus ubunku sambil menyenandungkan lagu piala dunia waktu itu. Kalau hanya rambut saja, masih bisa disembunyikan oleh jilbab, pasalnya Ayah kerap membelikanku kaus sepak bola.
“Kenapa Ayah menyukai sepak bola?” tanyaku suatu malam, ketika pria bertubuh sedengan—tidak kurus—tidak juga gemuk ini menonton pertandingan sepak bola di layar televisi.
“Seru, Nak! Lihat jagoan Ayah selalu menang! Tendangan Ronaldo selalu melengking jauh!” seloroh Ayah tanpa merasa berdosa.