Badai Indah

Titin Widyawati
Chapter #2

Teman yang Hilang

Segerombol anak Madrasah Ibtidaiyah sedang memenuhi halaman sekolah. Mereka berteriak kegirangan menyambut hari sabtu, harinya olahraga senam  dengan pelajaran muatan lokal yang tidak memusingkan. Seragam pramuka mereka sandang sebagai formalitas, jilbab kaus menutup rambut anak perempuan. Rok seatas mata kaki, baju berlengan panjang membuat semuanya terlihat sopan. Melodi yang keluar dari tape recorder meraung-raung, mengalahkan merdunya gesekan daun-daun bambu dengan angin di belakang gedung sekolah. Pagi yang hangat membuat tubuh semakin bersemangat. Diharapkan kabut-kabut dari puncak gunung tidak terjun barang satu jam ke depan. 

Dari kecil—dari kelas satu—tidak seorang pun ada yang terkenang menjadi teman. Atau mungkinkah aku memang tidak memiliki teman dekat? 

Lihatlah aku di bangku kelas lima, ketika anak-anak sedang berpesta dengan musik-musik olah tubuh, aku justru duduk di bangku cor-coran semen menghadap ke halaman. Di sisiku, ada adik kecil yang masih ingusan, sengaja kuajak bersekolah. Merepotkan tetapi waktu itu aku tidak punya pilihan. Aku hanya heran, mengapa tiada yang menyandingku? 

Rambut cepakku diayun-ayun angin. Sekalipun teman perempuan yang lain berkerudung, aku tetap tidak memakai kain penutup kepala. Beruntungnya aku masih duduk dengan perempuan, dia bertubuh seramping pohon bambu, bibirnya tipis dengan lipstick beraroma buah. Sejujurnya aku duduk dengannya karena seangkatannya telah meninggalkan kelas, pindah ke jenjang atas, dia menunggak, jadi tidak punya teman duduk. Maka semenjak itulah diriku merasa memiliki teman, lainnya hanyalah anak-anak kecil yang asyik hilir-mudik dan bersenang-senang di depan mataku. Sesungguhnya aku jarang melakukan percakapan. Bukan karena menyendiri, tetapi waktu memilihkan hidupku menjadi sendiri. 

“Kudengar, Ayahmu sering marah-marah ya, Ta?” tanya Yulia selepas pulang sekolah. Kebetulan jalan pulang kami satu arah, maka obrolan ringan sering bersahut. 

“Ayahku … emm … dia baik, bahkan sering membelikanku jajan!” jawabku dengan polosnya. 

Aku sibuk menggendong adikku di punggung, membetulkan letak selendang, mengaitkannya supaya mampu menyokong beban bokong. 

“Jadi tetanggaku itu bohong ya?”

“Memangnya tetanggamu bilang apa?” 

“Katanya Ayahmu suka marah dan berteriak-teriak,”

Oh, normal kan orang tua teriak-teriak, kupikir orang tuamu juga demikian kalau kamu membuat onar.” Aku menjawab dengan mengembangkan senyum. “Menurutku Ayah tidak marah hanya karena berteriak.”

“Tapi teriak yang berbeda, bukan seperti amarahnya Bapak dan Simbokku. Katanya kerasukan jin dari kuburan!”

Aku diam sesaat. Merenungi pesan yang disampaikan oleh Yulia. Kerasukan jin? Di kampung penuh kabut yang ladangnya masih rimbun ini, masyarakat masih banyak yang meyakini hal-hal mistis, santet misalnya. 

“Nggak, Ayah sehat dan normal, tidak seperti hantu!”

“Tapi kata tetanggaku yang pernah melewati rumahmu, Ayahmu bersikap aneh, ngomong ngalor-ngidul kayak orang edan!”

“Ya, kan baru kayak, belum beneran!” 

Lihat selengkapnya