Sejak kecil aku punya mimpi sederhana, karena sering berambut cepak, maka imajinasiku berkembang biak kepada gadis-gadis manis berkepang dua yang saban minggu bermain di teras rumah warga. Di mataku mereka merupakan makhluk paling sempurna. Bibir tipis, mungil menggemaskan. Pipi chubby, hidung bangir, senyum centil apalagi ketika merajuk mainannya sedang direbut. Mereka akan berlarian manja mengitari halaman kosong—tanah milik orang yang belum dibangun rumah karena masalah dana—merentangkan tangan sementara dua kepangnya bergoyang-goyang mengikuti irama tubuh. Meski hari berkabut dan embunnya menyerbuk di pori-pori kulit, dahan-dahan pohon cemara digelantungi air, langit mengabu-abu seolah hujan akan turun, pemandangan gadis berkepang dua tetap mengalahkan muramnya dunia. Mereka adalah potret kesempurnaan alam walau hari murung tak berkesudahan.
Kampung ini luas, dijaga burung elang yang mengepakkan sayap di angkasa. Kalian tahu bukan? Burung elang muncul pada permukaan yang tinggi? Maka sudah dipastikan di bawah kampung ini, jarang ada penampakan burung elang, dia merupakan inspirasi lambang kebanggaan Negara Indonesia. Begitu kata guru Ilmu Pengetahuan Sosial di sekolah. Gadis itu akan melompat sambil menunjuk langit jika sayap elang melayang di puncak gunung. Alam yang membentang terlihat serupa kotak-kotak hijau dilempari bunga kol, kubis dan bawang daun. Satu lagi yang dramatis, ketika tanaman kentang bergerak diembus nyiur angin, bunga ungunya mempesonakan pandang, kupu-kupu dan kumbang akan bergantian mengisap madu. Bukan itu saja, bawang daun pun memiliki pesona menakjubkan, bunganya tidak kalah romantis dengan bunga dandelion yang berguguran ditiup angin. Kampung ini elok secara natural, dilengkapi keceriaan gadis kecil berkepang dua. Lantas kapan aku bisa merealisasikan mimpi tersebut?
Ayah … sewaktu musim lembab, lapangan cuti dari turnamen sepak bola, karena bulan itu Desember menyapa di penghujung tahun. Tubuh kecilku dibopong, didudukkan di atas bahu, lantas dia merentangkan tanganku dengan memegangi jari-jarinya. Ayah mengajakku terbang mengitari lapangan, katanya serupa elang. Ketika itu, embun serupa debu di musim kemarau, berserak di pucuk-pucuk daun, membuat basah permukaan kaki, bahkan ujung celana pun menjadi kuyup. Lapangan licin, pada beberapa titik terdapat lubang dengan genangan air penuh lumpur. Di sudut gawang menghadap ke barat, terdapat kerumunan capung-capung indah penuh warna. Ada yang tubuhnya hijau, merah, biru, oren dan bahkan hitam. Itu seingatku … mereka bagaikan makhluk dari surga yang sengaja diturunkan ke bumi.
Ayah kemudian duduk, menikmati daun ilalang, digigit-gigit, katanya manis, tetapi aku tidak menyukainya, sementara diriku sibuk menangkap capung-capung itu. Kumasukkan ke dalam kantong plastik transparan—plastik bekas yang kupungut dari pinggir lapangan, wadah jajan makanan ringan yang dibuang sembarang.
“Nanti capungnya dibebaskan lagi, jangan diangkut pulang! Kasihan, mereka juga berhak hidup!” kata Ayah.
Seketika aku merengut, sudah susah payah menangkapnya kenapa pula harus diterbangkan ulang?
“Kalau mati kan kasihan!” Ayah berasalan.
“Mau aku mainkan dengan adik di rumah!”
“Adik sudah banyak mainan, tidak perlu dikasih capung, nanti malah diremas-remas karena belum tahu mereka makhluk yang ingin hidup juga.”
“Mau aku masukkan ke toples, kupajang di jendela!” Aku ngeyel.
“Pelita! Capung itu hewan liar, jangan disandera di dalam toples, itu namanya kamu menyiksa hewan ciptaan Allah!”
“Kan dikasih makan juga, menyiksa kalau nggak dikasih makan!”
“Memangnya kamu tahu makanannya apa?”
“Emm ….”
“Tuh kan, kamu nggak tahu?”
“Mau aku kasih donat! Manis, enak, Yah! Biar capungnya gemuk!”