“Mamak aku mau sekolah di antara gunung itu!” kataku setengah berteriak sambil memandang jendela.
Selepas lulus MI, tugasku adalah mencari ijazah selanjutnya. Sekolah memang kupikir sebuah tugas wajib dari adat-istiadat orang hidup di muka bumi ini. Pasalnya aku sendiri tidak tahu untuk apa kelak ijazah itu digunakan. Sejelasnya, aku mengikuti arus sebagaimana anak-anak kecil pada umumnya. Mendaki tangga kehidupan sesuai porsinya.
“Kenapa kamu ingin sekolah ke sana?” tanya Mamak sambil merengut.
Aku memandang kaca jendela, langit membentang, dia mengayomi gunung merapi dan gunung merbabu yang tampak gagah. Entah apa penyebabnya aku ingin ke tempat itu. Mungkinkah karena sehampar lapangan luas tempat capung bersembunyi itu menyuguhkan lanskap menakjubkan? Pembuat dua gunung begitu damai jika disaksikan dari kejauhan. Sekalipun di masa kecilku—pada tahun 2006 gunung merapi mengeluarkan erupsi dahsyat. Aku bisa menyaksikan lahar merah mengalir ke bawah. Malam-malam lampau orang dari gunung yang kutinggali—sumbing—menggumamkan doa-doa selamat langsung dikirim ke langit. Berharap bencana alam disudahi, begitu banyak korban yang telah mengungsi, belum lagi banyak nyawa tertimbun abu vulkanik. Lantas kini, kepalaku menginginkan aku bersekolah di bawah kaki merapi. Mamak tentunya uring-uringan. Aku memandang merapi dan merbabu serupa saudara kembar yang saling bahu-membahu. Aku ingin merasakan angin di antara celah gunung itu, menciut dalam gigil malam, merentangkan masa-masa mudaku di sana.
Pertanyaan Mamak tidak segera kujawab, bibirku bungkam bagai dijahit rapat. Aku sendiri tidak paham mengapa tekadku begitu kuat. Buat apa bertahan di sumbing, jikalau teman dekat justru mencipta sekat? Aku ingin merekatkan persahabatan yang terlewat. Bolehlah waktu menjauhkanku dengan Yulia, tetapi hanya dia satu-satunya yang mau duduk denganku. Maka aku berpikir untuk mengubur sekat tersebut, aku ingin kembali rapat dalam siul kelakar dan debat.
“Bersekolahlah di kampung, setidaknya Mamak bisa mengawasimu yang bandel!”
Menurut Mamak aku memang bukan anak perempuan pada umumnya. Aku gemar bermain-main, tidak kenal waktu pulang, sering tertawa menandingi teriakan petir, berjalan ugal-ugalan tidak sekalem Yulia yang memang diajari santun, aku bagaikan bola kelereng yang disentil keras-keras oleh pemiliknya demi menggulingkan kelereng lawan. Licin tetapi susah diatur di atas lantai, maunya menggelinding ke penjuru arah.
“Kalau tidak sekolah ke tempat itu, aku tidak mau sekolah essempe!” ancamku kepada Mamak yang rambutnya mulai acak-acakan.
Aku mendengar kabar Yulia akan bersekolah di bawah kaki gunung merapi. Selama ini aku tidak punya teman, hanya Yulia sumber penyemangatku, maka maklum jika aku ingin menjadi ekornya kemana pun dia mengarungkan langkah. Lebih dari itu, alasan mendasarnya adalah, Yulia membisikkan kata indah di sisi telingaku selepas acara perpisahan.
‘Aku mau bersekolah di Sawangan, ayo pergi bersama jika mau bermain denganku.’
Pada minggu selanjutnya Mamak mengunci mulut. Dia mempersibuk diri dengan memasak, setelahnya mencuci pakaian-pakaian Ayah dan Suchi. Jika semua dianggap beres, maka lantai ubin disapu bersih meski debu-debunya tidak pernah bepergian dari ruangan. Apalagi kamar Ayah, setiap sudut dipan dipenuhi jaring spiderman. Selimut tebal berbau apak, terkadang bau pesing juga menguar dari balik pintu bercampur dengan aroma makanan yang tidak kunjung disantap. Jika sudah demikian, merasa bosan karena tidak ada apa-apa yang bisa dilakukan, aku mengajak Suchi keluar rumah, berlarian menginjak rumput ilalang di lapangan, memanjat tiang gawang, melompat-lompat seperti monyet, terakhir tiduran di atas rumput, memandangi langit yang mengandung kabut, atau membiakkan terang sampai membuat mata silau.
Kalau aku pergi ke Sawangan, itu artinya aku akan meninggalkan Suchi—si bontot yang belum pandai mengelap ingus itu. Aku menoleh menatap wajah kegirangan adikku, dia bertepuk tangan jika aku menyanyikan lagu ‘kalau kau suka hati ….’
Ada gelenyar aneh yang membuat batin bergetar hebat. Aku merasakan siut angin membekukan perasaanku. Daun ilalang diombang-ambing tanpa arah. Tanaman wortel di ladang yang daunnya serupa wayang digoyang-goyang angin, sementara bunga-bunga sawi mulai berguguran. Ketika langit mulai membentuk cembungan merah di ufuk barat, aku menggendong Suchi pulang.
Ayah menumpahkan jagung di depan rumah. Biji-biji yang baru saja dirontokkan secara manual oleh Mamak untuk dijual lalu dijadikan pakan burung itu, dibiarkan berserak di atas ubin. Ada bening di sudut mata Mamak. Dasternya mendadak terlihat kedodoran. Mamak membungkukkan badan, lalu menyarungkan biji-biji jagung itu ke dalam karung.