Begini ceritanya, Mamak bukan wanita rajin serupa gadis perempuan pada umumnya. Di masa kecil dia lebih sering menghabiskan waktu di kebun untuk mencari biji-biji cengkeh yang gugur. Belajar di bangku sekolah menjadi pilihan kedua.
Mamak akan menyandang karung pagi-pagi, menelusuri jalan berembun yang licin. Dia jadikan sinar matahari terbit sebagai penghangat harinya yang dingin. Waktu masih menggigil, tetapi tangannya telah bergerilya memungut biji-biji cengkeh yang kelak bisa diuangkan. Zaman Mamak kecil, mencari uang menjadi menggiurkan ketimbang belajar memegang polpen di kelas. Ijazah yang nyangkut dalam arsip dokumen penting hidupnya hanya setingkat SD, itu pun karena melalui proses perjuangan panjang, kakek ngomel-ngomel saban detik supaya dirinya berangkat ke sekolah.
Dulu, Mamak menyimpan buku dan pensil di dalam kantong plastik hitam. Dia tidak memiliki tas gendong maupun tas jinjing.
Lantas bermodal ijazah SD di zaman sekarang, ketika teknologi berkembang secepat sambaran petir di langit, jelas bukan perkara gampang untuk mencari pekerjaan. Berkilo-kilo meter dia lintasi demi menanyakan peluang mendapatkan uang. Dia sodorkan surat lamaran pekerjaan lengkap dengan ijazah SD yang fotonya telah hilang dibawa kabur waktu.
Tabungan Mamak menipis sementara kebutuhan membengkak lebar. Mamak menghemat pengeluaran belanja sehari-hari. Terpenting bisa menebus beras untuk persediaan di dapur. Masalah sayur bisa dinomor duakan, Mamak bisa mencabut sayuran di dekat rumah yang ditanam oleh kakek dan nenek di ladang. Sementara lauk, libur lebih dulu, kebutuhan Ayah lebih utama daripada kebutuhan perut.
“Kamu jaga Suchi, ya!” perintah Mamak menjelang fajar.
Detik itu masih lekang dalam ingatan, Mamak bangun terburu-buru, dia meringkas tanggung jawab membereskan rumah dan menyiapkan sarapan secepat mungkin. Dia kalungi tas selempang berisi berkas lamaran pekerjaan yang sudah disiapkan malam sebelumnya. Aku menyaksikan Mamak menulis permohonan dipergunakan jasanya untuk membantu meringankan pekerjaan di toko. Tulisannya dirangkai indah, kebetulan coretan hurufnya rapi dan enak dilihat mata, lain dengan huruf yang kususun berantakan serupa cakaran ayam.
“Mamak mau ke mana?” tanyaku meski sejujurnya aku tahu Mamak akan pergi mencari kerja.
“Cari jajan!”