Uang hasil pengumpulan tabungan Mamak zaman dulu disimpan ulang karena Paman Faiz tidak mau mengantar Ayah berobat ke rumah sakit jiwa.
“Kalau dimasukkan ke RSJ, nanti di sana malah seperti dipenjara,” seloroh Paman Faiz memberikan alasan.
“Lantas bagaimana kita berusaha untuk menyembuhkannya?”
Paman Faiz mengusulkan saran dengan berkata, “Kita bawa saja ke orang pintar!”
Mamak diam beberapa detik sebelum memutuskan. Orang pintar terkesan ambigu di benak Mamak, tetapi ada binar pengharapan kuat yang dipendam. Ruang tamu rumahku mendadak disergap dengan keheningan. Hari itu Paman Faiz dan Mamak saling tatap.
“Di rumah sakit jiwa pun, mustahil hanya satu atau dua hari saja, jika melihat kondisi Mas Arul itu tentu akan memakan biaya yang banyak.” Paman Faiz menguatkan pendapatnya.
Di kampungku yang dihuni oleh bunga-bunga sayur nan indah itu, masih banyak orang yang membawa penyakit tertentu kepada orang pintar—dukun yang akan mendiagnosa pasien berdasar prasangka dan omongan dari mulut ke mulut. Ujung-ujungnya, pusing ini tidak kunjung sembuh karena ketempelan setan! Dia lupa dengan keluarga karena otaknya disinggahi jin!
“Lagi pula si Lita juga sedang membutuhkan banyak biaya, alangkah baiknya uang ini kamu gunakan untuk kebutuhan sekolah Lita terlebih dahulu,” usul Paman Faiz.
Pada akhirnya Ayah memang dibawa ke dukun. Diberi air putih dengan tulisan huruf-huruf yang tidak kumengerti, disembur menggunakan mantra-mantra yang entah, didoakan supaya setannya tidak kembali singgah.
Kabar perihal Ayah yang diguna-guna menjamur ke penjuru kampung. Keluargaku menjadi kasak-kusuk dalam tatap kemalangan. Kakek dan nenek juga tidak bersegera mengambil tindakan. Maka hal-hal menyakitkan siap didengar. Ayah Pelita kena guna-guna, dia menjadi sinting dan suka meracau sendiri di teras rumah! Tidak jarang dia juga mengamuk!
Paman Faiz sibuk mencari dukun termanjur, dari pelosok kampung sebelah, sampai ke puncak gunung dia kejar. Ayah diikat tangannya kemudian dipertemukan dengan para dukun yang dipanggil orang pintar tersebut.