Badai Indah

Titin Widyawati
Chapter #9

Pulang dan Pergi

“Kenapa Mamak datang?” Pertanyaan yang membuat Mamak bergeming sejenak di depan asrama.

Hari itu mendung bergumul di langit yang terlihat gelap. Para penghuni asrama sedang sujud maghrib di masjid. Maka asrama mengheningkan cipta, tinggal kasak-kusuk lirih dari gadis yang kedatangan tamu bulanan. Aku tahu mereka mengintip—menguping dari balik pintu.

Jemuran yang digantung bergoyang-goyang diembus angin. Tanah basah, tanaman perindang dan penghias menampung embun. Pintu kamar mandi terbuka tanpa ada yang membanting, tiada yang berebut kamar mandi lagi.

“Kamu sehat, Lita?” tanya Mamak.

Kami bertiga duduk di atas lantai, saling pandang dalam rindu ambigu yang justru membuatku takut. Karena kedatangan Mamak di luar kebiasaan, pastilah ada kejadian yang sebentar lagi terpampang di depan takdir.

“Aku sehat dan selalu baik, Mak. Bagaimana kabar Ayah di rumah?”

Langsung benakku ditimbun perihal Ayah. Harusnya aku menanyakan kondisi Mamak terlebih dahulu, dia kurus dan lebih kurus dari sebelumnya, kulitnya kering bersisik, bibirnya meretak seolah tidak pernah disiram air. Matanya layu, aroma tubuh bertambah apak. Mamak menyedihkan, apalagi rona wajahnya membentuk garis kesedihan, seolah tidak ada waktu untuk tersenyum.

“Ayah kita lupa ingatan, Kak! Dia gila, sering keluyuran dan mengamuk di jalanan, Suchi takut!” Adikku mewakilkan kalimat Mamak yang dibungkam, atau memang ingin disembunyikan?

Mamak mengusap bahu Suchi, menggoyang-goyang perlahan. Aku merasa ada hal berat di ulu hati, tetapi kutahan.

“Lita di sini bagaimana? Kerasan?” Pertanyaan yang begitu telat. Harusnya sejak zaman dahulu dia mengumandangkan pertanyaan tersebut.

Kalaupun aku tidak kerasan, aku tidak punya pilihan, tugasku hanyalah bertahan mendengar kicau burung-burung liar yang senantiasa menyudutkanku ke tempat gelap. Pulang? Mustahil bagiku, berpuluh-puluhan kilo jarak melintang, biaya tidak kupunyai, harus berpindah-pindah angkutan umum kecil, kemudian berganti ke bus agak besar, lalu menumpang ojek mencapai dusun yang kutinggali. Aku tidak mungkin nekad pergi seorang diri tanpa uang. Pasalnya selama ini uang jajanku kosong melompong. Berbulan-bulan lamanya aku menatap iri para siswa yang jajan dan tertawa sambil menikmati makanan ringan.

Harusnya hal pertama yang Mamak ucapkan merupakan kalimat apologi—maaf Mamak tidak bisa mengirimu uang, maaf Mamak tidak bisa menjengukmu—maaf Mamak repot mengurus Suchi dan Ayah—maaf.

“Terima kasih kamu sudah baik-baik saja di sini, Lita. Mamak lega sekali, besok kita akan pulang sebentar ke rumah,” seru Mamak.

Lihat selengkapnya