Aku duduk di bawah pohon jeruk nipis yang rindang—seorang diri, sebab anak-anak yang lain sedang sibuk menunggu atau menyambut kedatangan orang tua mereka. Teras asrama penuh dengan obrolan perihal rindu, mereka berkisah tentang kenakalan saudara di rumah, ayam tetangga yang suka nangkring di garasi—meninggalkan telek tanpa merasa berdosa, adapun yang menceritakan ibunya baru saja masak ayam tetapi gosong karena ketiduran. Kemudian mereka membuat langit retak karena tawa yang tidak berkesudahan.
Aku pening mendengar obrolan yang terbang diangkut angin. Kepalaku melayang-layang, lantas gigil menyergap di sekujur tubuh. Daun jeruk nipis yang kering berguguran di depan kaki, ada juga yang menyebar ke bangku-bangku bambu, lainnya pasrah pada kehendak angin akan membawa pergi. Lantas mereka akan ucap pamit setelah menyelipkan uang-uang saku yang wajib disimpankan oleh pengurus. Penghuni asrama dilarang membawa uang mereka. Jika mau jajan, maka harus minta uang kepada pengurus, itu pun tidak boleh melebihi batas yang ditentukan. Setelahnya mereka akan mengumbar jajanan di kamar, menawari kepada siapa pun yang menginginkan. Sementara aku? Jarang ada kiriman makanan untukku, aku tidak pelit sekalipun tidak pernah membagi makanan.
Pohon jeruk nipis, bangku bambu dan sepoi angin di dekat asrama menjadi persembunyian terbaik yang kumiliki. Aku malas bergabung karena merasa belum bisa membagi apa pun. Sekalipun kemarin aku baru saja pulang. Aku kembali dengan uang pas-pasan, tidak cukup untuk melunasi hutang. Maka barang jelas jika gunjingan bagaikan paku-paku yang sengaja ditusukkan ke dadaku. Aku mendapat label gadis tidak bertanggung jawab.
Sampai pada suatu subuh, aku tidak bisa bangkit. Aku kehilangan keseimbangan untuk melangkah menuju kamar mandi. Kepalaku berputar-putar, seluruh objek yang kupandang menjadi beranak-pinak. Pintu seolah akan roboh menimpa jasadku. Eternit di atas kepala pun tergambar melayang di depan mata. Keramik seolah bergoyang-goyang. Bumi gonjang-ganjing ketika aku menegakkan tubuh. Kucengkeram knop pintu kuat-kuat. Tatapanku merem-melek mengamankan kesadaran. Aku tidak boleh lemah, tiada yang akan menanggung bebanku jika aku sekarat. Yulia telah mengungsikan diri, dia ringkas jarak di hadapku, menganggap aku sosok yang pantas dijauhi. Teman dari kampung yang lain memandangku bagaikan benalu, atau mungkin parasit. Tetapi takdir tidak memihakku, aku tersungkur di atas kasur karena ketidakmampuanku menjaga ingatan.
“Si Lita kenapa tidak ke masjid?” tanya guruku dari luar asrama, aku mendengar sayup-sayup suara obrolan dengan Fatima.
“Enggak tahu, masih tidur.” Jawaban yang menusuk ke ulu hatiku.
Mereka membaur dengan kesibukan pagi, membersihkan tubuh dengan berebut kamar mandi, berjejalan di depan cermin, kemudian menyarung langkah bersiap ke dapur asrama untuk sarapan.
“Lita! Bangun! Kau tidak mau sekolah?” tanya Adiba selaku kepala kamar yang bertanggung jawab atas semua penghuninya. Dia kakak kelasku, tubuhnya ramping sementara bibirnya mungil. Dia suka kebersihan, rajin mencuci dan jarang nimbrung ketika anak lain menggosipkanku. Adiba lebih banyak mengisi waktunya dengan mengaji atau mengerjakan tugas-tugas sekolah. Seluruh anak-anak sepakat melabelinya sebagai anak baik.
“Pusing … tubuhku seperti melayang-layang, Kak.”