Asrama—sebuah tempat berkumpulnya berbagai anak dari penjuru daerah. Komunitas dari pikiran dan karakter yang berbeda-beda. Ada yang lugu dan taat terhadap aturan, ada yang ongkang-ongkang merasa sok jagoan. Ada yang rajin menjaga kebersihan dan tidak suka berbuat aneh-aneh di hadapan khayalak umum serupa Adiba, tetapi ada juga yang ceroboh senantiasa membuang sampah tidak pada tempatnya, Fatima si gadis manis berlesung pipit itu misalnya. Dia tidak ingusan serupaku, pakaiannya senantiasa rapi, penampilan ia nomor satukan bahkan bau tubuh diutamakan, parfume dia semprotkan satu galon, sabun mandi menggunakan yang wanginya premium. Intinya bertolak belakang denganku yang menerima pemberian alam apa adanya, bau keringat masih bersemayam setelah mandi pun aku tidak risau.
Persoalannya, pada akhir semester ketika anak-anak banyak mendapat uang kiriman untuk membayar ujian kenaikan kelas, sebagian uangnya belum diberikan kepada pengurus asrama—masih disimpan di bawah lipatan baju yang sembrono. Si Fatima yang cantiknya menandingi mulusnya tubuh rembulan itu, berteriak lantang di akhir pekan, “Uangku hilang!”
Adiba sang kepala asrama melongok ke sumber suara. Dia meninggalkan tumpukan kain yang sedang dirapikan di depan almari. Yulia dan teman yang lain langsung melingkar. Aku menghela napas sambil menggeleng-gelengkan kepala, kutenggak obat sakit tipes yang masih tersisa tiga butir.
Aku diberi izin tidak masuk sekolah sampai kondisi pulih, tidak terasa nyaris satu minggu aku terkapar di atas kasur, barulah peningku melayang, langkahku tegak tak berpalang, senyum dan lelah bisa disilang-silang.
Selama itu pula, aku bisa menyaksikan karakter anak-anak pada jam istirahat datang. Ada yang ke kamar sekadar mengambil buku pelajaran yang ketinggalan, ada yang rebahan sebentar sambil menghitung jumlah garis eternit, ada yang nongkrong di bawah pohon jeruk nipis, ada juga yang mencari kesempatan untuk mencuci pakaian—saking rajinnya. Terakhir ada hal tidak terduga di dalam benak, mencari kesempatan perihal sempit yang melembar di waktu hening. Ketika bel berbunyi sementara aku berpura lelap, sosok yang selama diagungkan dalam budi baik tanpa memohon balas itu, datang menengok ke kanan ke kiri, memastikan tidak ada mata yang menonton keganjilan tingkahnya.
“Hilang di mana?” tanya Adiba penuh kepedulian.
“Wah … memangnya kau simpan di mana?”
“Loh kok bisa?”
“Salahmu tidak langsung dititipkan ke pengurus asrama!”
“Berapa uangnya?”
“Coba diingat-ingat kemarin naruhnya di mana?”
Pertanyaan demi pertanyaan menguap.
Aku menyandarkan tubuh di dinding. Mendadak pikiranku gusar, pasalnya selama enam hari hanya aku yang ada di dalam kamar. Nah … anak-anak langsung melihat ke arahku, semuanya dan kompak!
“Di bawah lipatan baju, aku taruh di dalam plastik, uangnya baru aku terima kemarin sore dari ibu buat membayar sekolah,” terang Fatima setengah menahan isak. Bulir-bulir pedih penuh sesal merintik di kedua pipi.
“Berapa jumlahnya?” tanya Yulia dipenuhi dengan penasaran.
“Empat ratus lima puluh ribu rupiah, itu sisanya juga uang jajanku sebulan!”
Adiba mulai melacak satu-persatu penghuni kamar.
“Bagaimana kalau kita cek semua almari yang ada di sini, barangkali terselip atau jatuh di kolongnya,” usul Adiba.