Badai Indah

Titin Widyawati
Chapter #12

Labelisasi

Sekalinya baik tetap baik! Sulit sekali mematahkan penilaian yang telah berkarak di tempurung akal manusia.

***


Malam harinya usai belajar bersama di ruang kelas, aku mengajak Syakila dan teman-teman penghuni asrama untuk membuat lingkaran. Ada hal penting yang ingin kuperbincangkan. Kebetulan sekali Adiba sedang pulang ke rumah, neneknya meninggal dunia. Sebuah alasan pas yang tidak bisa membuat Bu Rani menolak permohonan. Hal itu aku jadikan kesempatan untuk mengutarakan bahwasannya di balik keindahan sang mawar putih, tetap saja dia memiliki sisi yang berduri. Akan tetapi hal di luar dugaan justru terjadi.

“Jangan ngomong sembarangan kamu, Lit! Jaga ucapanmu!” sentak Syakila penuh amarah. Dia berpikir aku sedang mengarang cerita.

Penghuni asrama yang lain saling berpandangan, disusul kasak-kusuk rumpi dalam bisikan. Aku saksi yang tidak punya pembela. Anak-anak justru memandangku curiga, barangkali menganggap aku sedang menaruh batu di tas milik orang lain.

“Benar Kak! Kemarin pas aku sakit, aku lihat dengan mata kepalaku sendiri, Kak Adiba mengambil uang dari bawah lipetan baju Fatima, demi Allah aku tidak berbohong!” selorohku meyakinkan.

“Kak Adiba itu perempuan baik-baik, mustahil dia mencuri, dia tidak pernah berbuat salah, selalu menghargai waktu dan menjaga kebersihan, mustahil rasanya jika Kak Adiba mencuri, kamu ngigo kali, Lit!”

“Aku tidak ngigo dan aku tidak berbohong, Kak Adibalah dalang dari hilangnya uang Fatima!”

“Bilang saja kamu yang mengambil, Ta! Nggak usah mengkambing hitamkan orang lain!” sahut Yulia tiba-tiba. Sebuah suara yang menghantam ulu hatiku.

Mendadak nyeri paling ngilu bersarang di jantungku. Aku tidak menyangka, jika seorang teman dekat yang dahulu diperjuangkan dalam jabat sampai aku ikut ke sekolah ini, justru menciptakan luka paling dahsyat. Selama ini aku cukup diam, diacuhkan aku tidak ambil pusing, lagi pula aku memang suka menyendiri, tetapi kini dia memukulku tanpa sebab.

“Aku memang tidak punya uang, tetapi aku jujur, Kak Adibalah yang mengambil uang Fatima!” kataku bersi kukuh.

“Cukup Lita! Jangan memfitnah Adiba, aku kenal dia sebelum mengenalmu, dia itu gadis baik, berperilaku sopan, tidak serupamu yang anaknya orang ….”

“Aku bicara jujur!”

Tidak ada yang mendengarku. Asrama mendadak hening dengan tatapan mengintimidasi kepadaku seorang. Para junior sepakat memposisikan aku sebagai tersangka pencurian uang Fatima, seniornya mantap akulah yang menyembunyikan uang Fatima. Aku ingin mencari cahaya, justru dikubur oleh kegelapan amat pekat.

“Sekarang di mana kamu sembunyikan uang Fatima?”

Lihat selengkapnya