Badai Indah

Titin Widyawati
Chapter #13

Sendiri

“Pikirannya sudah tidak waras, pandai mencuri, pandai merayu guru, … sok caper … sok manis!”

Semua hal buruk mendadak aku sandang. Semenjak insiden pelaporan kasus pencurian uang Fatima itu, aku semakin dijerat label-label buruk. Anak-anak memandangku serupa makhluk yang ditumbuhi dengan dosa, atau bermaksud menjauhi karena aku terkena lepra. Jika dulu Adiba mau berinteraksi denganku, maka tidak untuk kali selanjutnya. Dia mulai diam, entah pendam marah atau justru ketakutan jika semuanya terkuak. Yulia tidak mau duduk bersebelahan denganku, Fatima juga enggan mengajakku makan apalagi sampai mengingatkan agenda penting di asrama.

Aku tidur di dekat dinding, memunggungi semua anak, sebab tidak tahan dengan perundingan yang mereka utarakan.

“Namanya juga anaknya orang gila, ya pantas jika dianya bersikap begitu … agak gila juga!”

Apakah aku layak menangis? Ledekan itu serupa bom yang diledakkan setiap saat. Tidak kenal waktu, tidak peduli hati korbannya terluka hebat.

Wajar bukan jika tidak ada yang menyandingku, maka aku mencari sandingan lagi? Aku lebih dekat dengan guru-guruku. Semuanya aku akrabi. Bu Rina, Pak Ezar, Bu Salwa, pengurus asrama dan guru administrasi, bahkan tukang sapu pun aku gauli. Anaknya si juru masak asrama pun kuajak bermain. Aku menolak sendiri dalam sepi mematikan, pikiranku perlu diombang-ambing agar tidak penat. Terlalu mendalami kondisi keluargaku hanya membuat pikiran merasa tersesat. Aku ingin sehat, maka harus menjaga kewarasan.

Meski terkadang jujur aku manusia rapuh sebagaimana anak-anak yang butuh pengayom dari orang tua. Aku rindu diberi kasih, aku ingin dimanja dalam pertemuan. Terlampau banyak luka yang telah dimarinasi, dia menyatu dengan aliran darah dan denyut nadi, maka di waktu kalender berwarna merah, kelas-kelas kosong, guru-guru yang tidak mengurus asrama liburan di rumah bersama keluarga, aku duduk di bangku cor-coran semen dekat dengan gapura, memandang langit dan awan-awan cumulus yang berarak menyerupai bunga kol.

Debu singgah di permukaan paving, jika diembus angin maka akan berpindah ke obyek lain. Langit terang sementara alam berangin menjadi momen asyik untuk menerbangkan layang-layang berekor panjang. Aku rindu bekerjasama mengulur senar dengan Ayah. Wajahnya mengambang di halaman nirwana, terlihat transparan dengan background pohon trembesi di seberang gapura. Ada sesak yang menyumpal rongga paru, dadaku serupa ditekan benda keras. Rindu membuat sebagian manusia menjadi lemah dan menderita.

Aku mengungsikan diri dari kerumunan, kusinggahi perpustakaan asrama, melangkah di lorong rak-rak buku, memilih-milih bacaan untuk teman sepi. Aku enggan berada di asrama, anak-anak menguliti dagingku sekalipun aku berada di sana. Mereka terlihat risih dan menyamakanku serupa kotoran—harus dibuang.

Lantas aku duduk di kursi, membuka sebuah novel dengan judul ‘Ayah’ karya pengarang ternama Indonesia, ‘Andrea Hirata.’

Halaman tengah buku itu basah kuyup karena hujan turun deras dari langit-langit mataku. Hatiku meluruh dalam setiap kalimat yang disuguhkan. Tanpa kusadari tubuhku sudah berguncang hebat, lantas aku telungkup di atas meja. Satu hal yang pasti di benakku, aku ingin pulang. Kalaupun aku menderita, biarlah derita aku pikul bersama Mamak dan Suchi. Melihat dua kaum hawa itu setidaknya membuatku bangkit dan menghalau air mata. Aku pantang menangis di hadapan Mamak dan Suchi. Sendiri membuatku terjebak dalam lubang hitam penuh kesakitan.

Lihat selengkapnya