Dan mengapa yang memulainya harus Yulia?
Malam itu ketika anak-anak sedang mengepak beberapa potong pakaian untuk dimasukkan ke dalam tas mereka—ada hal yang membuatku tidak memahami alur pikiran Yulia. Ruang kamar terang, sebagian melipat baju, sebagian pula rebahan di atas kasur, melepas lelah belajar selama satu pekan lebih empat hari bertempur melawan soal-soal. Besok hari pengambilan raport sekaligus kepulangan libur akhir semester.
Aku sedang ingin memasukkan buku berlukis bunga amarilis putih, tiba-tiba saja Yulia merebutnya. Spontan aku reflek berteriak, “Yulia!” Suaraku melengking nyaring.
Sayangnya, amarahku justru dijadikan tontonan dan bahan tertawaan. Yulia dengan santainya menyibak lembar demi lembar, lalu teman-teman berkerumun ikut penasaran.
‘Dear diary … hari ini aku merasa sedih karena teman-teman ….’
Isi hatiku dibaca dengan lantang, membuat daun jeruk nipis di luar asrama berguguran. Malam yang harusnya digunakan untuk beristirahat mendadak riuh dengan sorak-sorai anak-anak. Apalagi ketika membaca bagian catatan yang mengatakan bahwa Pak Ezarlah pemberi buku tersebut—sosok yang membuat hidupku memiliki arti dan bisa mengembalikan senyumku karena sebuah buku kosong. Aku menulisnya dengan runtut setiap perjalanan sehari-hari, menumpahkan gelisah ke sekujur tubuh baris yang rumpang, memuntahkan perasaan susah dan sedih dalam paragraf. Kuanggap buku itu tong sampah atas air mata dan ledekan teman-teman. Sampah-sampah rasa itu sengaja diobrak-abrik ke permukaan oleh sosok yang dulu kuakui sebagai teman paling berarti.
“Berikan kepadaku!” Aku berusaha meraih bukuku, akan tetapi Yulia justru memindah tangan kepada Syakila.
“Itu isi hatiku! Sesuatu yang bukan milik kalian!” teriakku dengan sangat marah.
Ekspresiku justru membuat mereka bertambah senang. Buku itu terus dilempar-lempar, jika ada jeda panjang maka dibaca tulisannya. Aku merasa lelah, percuma merebut hal yang sedang dijadikan gurauan. Aku mundur dan hanya mendengarkan dengung lebah kemenangan mereka. Wajah Yulia disiram neon dari tengah-tengah ruangan. Tawa mereka mengambang di udara malam, merasuk pada dinding-dinding yang merekam sejarah keberadaanku tidak dianggap. Aku merasa dikuliti hidup-hidup.
“Kau kejam, Yul! Jangan pernah meminta maaf kepadaku!” kataku lalu berlalu pergi.
Kubiarkan ransel yang reslitingnya masih menganga lebar. Beberapa potong pakaian belum jadi masuk semua, buku kesayangan masih dijadikan hiburan—susah payahku menjaga hati agar tidak terperosok ke lubang kesedihan—dijadikan candaan oleh anak-anak yang mengaku tidak memiliki dosa itu.
Aku keluar meninggalkan kamar, melangkah pelan menuju kelas. Ruang yang sudah gelap kembali kubuat terang. Aku duduk di bangkuku, merogoh laci, mengeluarkan satu buku pelajaran yang kutinggal di kelas. Kucoreti dengan gambar-gambar abstrak demi menjaga kewarasan, sementara air mata terus berjatuhan.
Hal terburuknya, Mamak tidak menjemputku. Aku harus ikut mobil rombongan dengan Yulia juga teman yang berasal dari desaku.