Badai Indah

Titin Widyawati
Chapter #15

Mamak

Pagi hari dia akan bersembunyi di kamar mandi milik orang, menyikat kotoran, mengusir debu-debu yang menempel di lubang pori kain, bermain dengan buih-buih, lalu Suchi mengganggu di akhir pekan—menggelembungkan buih dengan ujung jari telunjuk yang disatukan membentuk lingkaran dengan jempol. Suchi tertawa kegirangan, kuncir kudanya akan bergoyang-goyang mengimbangi lompatan kaki. Dia yang masih duduk di bangku Madrasah Ibtidaiyah tingkat kedua, sikapnya masih serupa bocah TK, ingusnya melebar ke mana-mana, tetapi riangnya memang perlu dipertahankan oleh waktu. Kemudian gaunnya yang kedodoran akan mengembang diembus angin esok di bawah tali jemuran, sementara Mamak sibuk mengibaskan embun-embun dari selimut atau handuk yang direntangkan. Keduanya akan tertawa seolah tidak mengemban beban hidup, sekalipun dapur Mamak hanya dipenuhi angus, lumbung beras melompong, sayuran tinggal menyisakan sampah akar yang habis dipangkas.

Siang harinya mereka berpindah tempat, menuju pembibitan cabai terdekat, memasukkan tanah ke plastik mungil ukuran 4x6 cm, lalu disusun rapi di atas baki bambu. Wajah Suchi akan rata dengan tanah, sudut bibirnya kecoklatan karena serbuk tanah bercampur dengan air liur, rambutnya menggembel lupa disisir, aroma tubuhnya serupa ketela busuk di tumpukan kandang, akan tetapi … lagi-lagi mereka pamer keutuhan lengkung senyum. Tidak rela ada tangis maupun riak yang diseka kemalangan. Mamak membaur dengan warga yang memandang remeh hidupnya. Mamak begitu kokoh sekalipun suaminya dijadikan topik utama obrolan.

“Lalu kau tidak kangen dengan suamimu yang dikurung di eresje itu?”

“Kalaupun kangen juga sulit bertemu, Mbak. Dia di kota, aku di desa, lebih baik kirim doa semoga dia lekas membaik,”

“Apa kau masih cinta dengan orang edan sepertinya?” celetuk buruh semai benih cabai yang lain.

Mamak bungkam sejenak, kemudian bibir tipisnya ditarik, seolah ada beban yang nyangkut di kerongkongan. Ada kalimat malas diucap, atau mungkin tidak perlu dimuntahkan, lebih tepatnya pertanyaan itu harusnya tidak lompat.

Atap dari plastik transparan membuat ubun-ubun para buruh serabutan itu kepanasan. Keringat mengalir di kening masing-masing. Suchi sedang mencabuti rumput yang tumbuh di sekitar baki, sepertinya dia bosan dengan plastik rumit itu. Buruh pria tua sedang sibuk menaburkan biji cabai di atas pot. Tumbuhan tomat yang tingginya sudah selutut Suchi, bergerak-gerak damai diajak bergurau oleh angin siang. Ulat buah tiduran di permukaan daun keladi.

“Cinta tidak cinta, Mas Arul tetap bapak dari anak-anakku.”

“Minta cerai saja, cari yang lebih tampan dan mapan, kamu kan masih agak muda, eman-eman loh,” kata Lek Imah yang juga ikut menjadi buruh serabutan. Ketika jam sekolah dia akan menggelar jajanan murah, sementara selepas pulang sampai azan asar mengajak sujud, dia bergumul dengan tanah dan pupuk kandang.

Aku yang mematung di sebelah tanaman tomat langsung melompat, berteriak histeris karena ada ulat berwarna hijau—tubuhnya montok sedang tidur di permukaan daun keladi. Aku mengibas-ngibaskan daun tersebut. Spontan obrolan terjeda, mata-mata melirik ke arahku.

“Ada apa, Lita?” tanya Mamak.

Lihat selengkapnya