Awan-awan nimbostratus tidak mau hengkang dari desa. Dia membuat sekujur tubuh ladang menjadi basah kuyup. Menyuburkan gundukan lumut-lumut. Alam mengelabu, ketika seorang petugas dengan mobil ambulance datang mengetuk permukaan badan pintu reyot. Dia berdiri tegak memasang wajah tegang seperti kehilangan hal penting. Rambutnya disanggul sementara poninya diapit menggunakan penjepit rambut serupa dua biting saling berpelukan, kepalanya ditutup topi berbentuk ketupat.
Tetangga di dekat rumahku mengintip dari balik jendela, mereka menggumamkan kemungkinan demi kemungkinan.
Pintu aku buka, kupersilakan petugas kesehatan dari Rumah Sakit Jiwa masuk, duduk di ruang tamu rumahku yang temaram. Hujan menciptakan suara berisik di atas atap, serupa gendang yang dipukul teratur, sesekali diselingi seruan guntur yang melurik di permukaan langit. Aliran listrik menjadi serabut akar cahaya yang menyelinap di antara awan-awan nimbostratus.
“Ibu adik ada di rumah?”
Aku menggelengkan kepala sebagai bentuk jawaban.
Aku menengok ke belakang punggung orang tersebut, berharap ada petugas lain yang menggaet lengan Ayah, atau mendorongkan kursi roda yang diduduki Ayah. Akan tetapi mobil ambulance di teras rumah tidak membukakan pintunya, sopirnya terkurung di ruang kemudi. Beberapa detik kemudian ada seorang pria berkumis tipis, memakai seragam serba putih sama dengan perempuan yang tampil lebih muda itu. Dia berdiri di ambang pintu, menghalau ubun-ubunnya dari tetesan air hujan.
“Di rumah ini, selain dirimu ada siapa lagi, Dik?” tanya petugas kesehatan itu lagi.
“Suchi, adik saya tetapi dia sedang tidur di kamar,” balasku apa adanya.
Mamak sedang bekerja menyetrika di rumah orang kaya, di rumah bertingkat miliknya seorang pejabat yang baru pindahan dua bulanan. Rumahnya ada di pertigaan jalan masuk ke desa.
“Kalau nenek atau kakek ada di rumah tidak?”
“Ada, tetapi rumahnya agak jauh dari rumah ini, kurang lebih melewati lima belas rumah tetangga dengan jalan berkelok-kelok, kadang menanjak, kadang menurun juga.” Aku menjelaskan panjang lebar. Sesuatu yang tidak mereka butuhkan.
Mereka berdua saling pandang.
“Kalian dari rumah sakit Ayah kan?”
“Ayah … Bapak Arul ya? Beliau Ayahmu?” Itu pertanyaan yang rasanya hanya omong kosong.
“Ya.” Akan tetapi aku ladeni juga.
“Mohon maaf, jika begitu kami bicara kepada dirimu saja, oh ya sebelumnya kamu sudah kelas berapa?”
Petugas itu sepertinya sedang mengukur tingkat kedewasaanku dengan menanyakan umur secara tersirat.
“Saya baru duduk di kelas delapan,”
“Oh …,” desis pria yang sejak tadi berdiri di ambang pintu.