"Saya tidak tahu Ayah ada di mana," ucapku tiba-tiba sementara pandangan kulempar keluar jendela mobil. Gedung bertingkat-tingkat, ruko yang mulai tutup, pohon penghijau jalan yang diayun-ayun angin, kemudian mereka kompak meneteskan embun.
Mobil telah tiba di kota, sebelum akhirnya nanti naik lagi ke gurung merapi. Hujan tidak sederas di gunung sumbing, aspal malah kering. Hanya saja gerimis berhamburan agak lebat. Jas-jas hujan menjadi hiasan di jalanan. Sepeda motor yang biasa ngebut mendadak melaju pelan karena ada tumpukan truk dan mobil-mobil pribadi di depan lampu merah.
"Maksud kamu, Pelita?" Pak Ezar ikut mengurangi kecepatan. Sekilas ia menoleh ke belakang, memerhatikanku tetapi aku tetap acuh, lalu berpindah kepada Bu Rani, wanita agak muda itu terlelap di perjalanan, mungkin lelah karena tadi menangis terisak-isak. Sebuah tangis yang tidak kumengerti, mungkin Pak Ezar justru memahaminya, maka memutuskan untuk tidak mengganggu pejaman matanya yang rapat itu.
"Ayah dikabarkan gila, lalu dibawa ke eresje di kota, dia kabur dari rumah sakit, mungkinkah dia gila sungguhan? Kenapa punya inisiatif untuk pergi?"
Pak Ezar kembali fokus pada jalan raya. Hari mulai kelam, ufuk barat dipenuhi warna oren yang dipadukan dengan kelabunya awan-awan. Sibuknya jalanan bertambah berisik di gendang telinga, pedagang asongan telah meminggirkan dagangan. Sementara pengamen justru memadati lampu lalu lintas. Melodi sumbang mereka giring dengan petikan dawai gitar berumur tua. Bersamaan itu, aku menyaksikan Pak Ezar melenguh napas panjang.
"Saya turut prihatin atas kejadian yang menimpa ayahmu, saya ingin membantu, tetapi tidak tahu bantuan apa yang perlu diberikan."
Di telingaku, kalimat itu terdengar begitu putus asa. Entah apa yang sebenarnya dipikirkan oleh Pak Ezar. Dia harusnya memberiku nasihat seperti biasanya.
Mobil bergerak mendaki jalan menanjak, menuju desa-desa yang dikelilingi lahan sawah, terus naik ke puncak, maka yang terlihat hanyalah beberapa hamparan ladang dan pohon pinus.
“Pak Ezar tidak perlu bersedih, biarlah kesedihan ini saya yang tanggung,” celetukku tiba-tiba diiringi secuil senyum. Karena mendadak aku berpikir Pak Ezar sedang dilanda kepedihan. Cerita hidupku selalu membuat orang berdecak iba, lalu ada perasaan sedih yang ikut hadir di relung hati mereka. Aku tidak mau menjadi beban orang lain, maka kuputuskan untuk mengembangkan senyum.
“Saya sedih kalau kamu menolak kembali bersekolah, Pelita.”