Badai Indah

Titin Widyawati
Chapter #20

Kelulusan

Parkiran penuh dengan mobil jemputan. Akhir pertemuan dengan teman-teman asrama yang sering menyudutkanku—akan tetapi rasanya baru kemarin. Waktu begitu cepat berlalu, menjadi masa penuh kenangan yang mengabu-abu. Aku termenung sejenak sebelum meraih sepatu pantofel dari rak. Anak-anak yang lain berburu kecepatan, sampai ada yang lupa merapikan jilbab mereka. Langkah mengejar sebuah gedung pertemuan di dekat perpustakaan, gedung yang telah disulap sebersih mungkin, sesakral mungkin untuk mementaskan pertemuan terakhir. Melodi meraung-raung dari salon yang tertempel pada sudut dinding. Tanaman pemeriah panggung, menjadi patung yang berfungsi menambah nilai artistik. Wajah-wajah yang dipolesi bedak tipis, memakai kostum pentas, memakai sorban, ada juga yang sederhana sepertiku—memakai seragam putih biru, sebuah identitas yang akan dikubur waktu beberapa jam kemudian.

Kelulusan telah diumumkan di papan pengumuman, ucapan selamat satu sama lain juga telah disalurkan, kecuali untukku, belum ada yang memberiku ucapan selamat, padahal kata Bu Rina lagi-lagi nilaiku paling unggul.

Yulia berdiri di parkiran, dia tidak langsung menuju gedung pertemuan, pasalnya rombongan dari kampungku belum datang. Jika tidak datang, dia akan menangis tersedu-sedan, make up-nya pun akan luntur dibasuh air mata. Kelulusan dijadikan momen paling penting dalam hidupnya, meskipun nilainya pas-pasan. Kata Pak Ezar, akhir-akhir kemarin, Yulia sering banyak main, bahkan dia terjerat kasus pacaran sampai-sampai mendapat hukuman disuruh membersihkan area kelas dan kamar mandi, padahal cuma tukar surat kepada lawan jenis, namanya …, tidak perlu disebutkan, nanti mengabadi dan menjadi karak.

Dia hilir mudik sambil menggigit jempolnya, organ tubuh yang dijadikan pelampiasan. Sementara aku, fokus pada tugasku ke depan, aku mendapat amanah dari guru—Pak Ezar, yang kerap mengasuh perasaanku untuk memuntahkannya ke dalam tulisan, katanya puisiku bagus, maka di perpisahan itu aku diutus membaca puisi sedramatis mungkin dengan penuh penghayatan. Aku tidak panik, jika Mamak tidak datang ke acara perpisahan tersebut, aku paham Mamak butuh waktu lebih untuk menjaga Suchi dan menguasai diri karena sejak lama pula Ayah belum berpulang, baik ke rumah maupun ke rumah sakit. Keberadaan Ayah bagaikan ditelan bumi, dibawa kabur hantu lampor. Disembunyikan gendruwo, atau bisa juga terjebak dalam dunia tak kasat. Entah bagaimana akal ini menerjemahkan, intinya Ayah lupa jalan pulang. Barangkali juga lupa dengan nama yang dia berikan kepadaku, lupa keimutan Suchi juga mengasingkan rasa cintanya kepada Mamak. Aku sudah terbiasa tanpa kehadiran wali, tidak disambut dalam peluk merupakan rutinitas, tiada yang ucap selamat juga bukan hal aneh. Tetapi lain jika Yulia sampai tidak mendapat peluk, keluarganya begitu hangat dan senantiasa memberinya dukungan, sekalipun peringkatnya terjebak di tangga paling akhir. Bagi keluarga Yulia, tangga akhir itu merupakan puncak dari keberhasilan yang telah diperjuangkan selama ini.

Aku menyiapkan diri, acara sudah mau dimulai. Siswa yang bertugas menjadi Pembawa Acara, naik ke atas panggung. Orang tuanya, menangis haru penuh kebanggaan. Dalam hati aku bertanya-tanya, apa yang sebenarnya dibanggakan? Toh dia belum menghasilkan karya apa-apa, belum mendapat piala, dia hanya bermodal berani maju ke depan, itu pun setelah dipaksa oleh para guru.

Masalahnya, di waktu lengang sebelum pentas giliranku, naskah puisi yang aku siapkan beberapa hari sebelumnya, dicuri oleh Syakila. Dia begitu usil terhadapku, ingin memperosokkanku dalam kebingungan. Aku tahu pelakunya Syakila, karena dengan sengaja dia membakar kertas bertuliskan bait-bait perasaan itu di hadapanku.

“Kak! Kenapa kau lakukan ini?”

Dia sudah lulus, telah duduk di jenjang Aliyah, berhubung karena dia putri dari pengasuh yayasan, makanya dia leluasa di asrama. Dia bagaikan senior kawakan yang tidak lulus bertahun-tahun, apalagi jika ditilik dari karakter pendidikan, dia jauh dari sopan dan santun perempuan kebanyakan, suaranya juga lantang sering ceplas-ceplos. Aku menilainya karena tergiring perasaan kesal.

Naskah puisiku telah menjadi abu di tong sampah. Pentas seni sedang ditampilkan oleh kelompok lain, adik kelas juga ikut memeriahkan, sementara diriku justru terjebak di belakang gedung bersama kepulan asap akibat ulah Syakila.

“Kamu yang melaporkan Yulia, kan?”

Lihat selengkapnya