Badai Indah

Titin Widyawati
Chapter #21

Pengorbanan Mamak

Wanita tua ini sungguh membuatku terpesona. Aku tidak akan melupakannya yang begitu gigih mempertahankan pendidikan putrinya, sekalipun dia dalam keadaan kekurangan. Aku paham, mencari kebutuhan sehari-hari seorang diri bukan perkara gampang, apalagi akhir-akhir ini Mamak jadi jarang tidur malam. Dia menggunakan waktu semaksimal mungkin untuk mendulang rupiah. Entah hasilnya cukup, entah hasilnya hanya layak untuk mengusap keringat. Mamak kerja bagaikan mesin, tidak mengenal kata lelah sekalipun batreinya minta dicas ulang. Selain kerja serabutan, kini Mamak juga jualan pakaian pantas pakai, alias bekas orang-orang kaya. Dia tidak malu mencari baju-baju yang telah dibuang oleh orang berduit, menukarnya dengan rupiah miring kemudian dijual kepada para tetangga yang notobenenya juga orang beruang pas-pasan.

Saban sore emak-emak berwajah keriput yang jarang dipoles skincare serupa orang-orang kota, berdiri berjajar di teras rumah, menunggu kepulangan Mamak membawa dagangan baju pantas pakai. Mamak yang terkadang belum sempat duduk, sudah dikeroyok untuk menumpahkan karung. Kemudian mereka berebut kain serupa sedang bazar pasar murah di balai desa. Emak-emak itu begitu rakus, siapa cepat dia dapat yang paling bagus. Mamak akan berdiri di belakang kerumunan, meluangkan waktu sambil meminum teh tawar atau mencomot gorengan yang dibawanya dari pasar.

Lalu Suchi terpingkal-pingkal menyaksikan segerombol emak yang berebut pakaian bekas. Suchi yang tengah duduk di bangku MI tingkat akhir, kini mulai pandai menilai kehidupan orang-orang.

“Kalau aku sih ogah pakai baju bekas,” celetuk Suchi.

“Jangan sampai kedengaran mereka, bisa gulung tikar usaha, Mamak!” Aku langsung bereaksi dengan membungkam bibir ketus Suchi.

Kalau aku sedikit diam, sebaliknya Suchi agak cerewet, bahkan mendekati bawel. Dia kurang bisa memahami situasi genting yang sedang melanda hidupnya.

“Mental murahan, maunya harga miring tapi kualitas bagus!”

“Suchi!” teriakku kemudian menyeretnya masuk ke kamar. Aku mengurung dirinya di dalam kamar, pintu kukunci dari luar.

“Hei, Kak! Keluarkan! Buka!”

Lihat selengkapnya