Hal buruknya Alesha tidak suka belajar—dia doyan buku, tetapi enggan menuntaskan nilai-nilai akademik. Hobi Alesha sudah disebutkan sebelumnya, menyanyi, jalan-jalan, bercerita panjang lebar, dan yang paling wajib dia lakukan ialah menciptakan peta dunia di permukaan meja kelas—tidur. Dia asyik, jarang membuat bosan, tetapi ketika guru mata pelajaran berdiri di depan papan tulis, dia akan lelap ke dalam dunia yang belum bisa diterjemahkan secara logis. Aku akan sibuk menyenggol lengan yang senantiasa dia abaikan.
“Lita, bangunkanlah Alesha, suruh dia cuci muka, kasihan kalau tidur terus-terusan, nanti ketinggalan pelajaran!” pinta guru dengan suara lembut.
Kenapa sang guru tidak bisa membaca upayaku yang susah payah membangunkan kesadarannya dan acapkali tetap diabaikan?
Sekolah di tingkat Aliyah ini lebih santai, instruksi yang disampaikan oleh guru jarang diulang, bahkan dilakukan untung, tidak pun bukan masalah. Aturan begitu ramah karena tidak seketat di dalam asrama, boleh bergaul dengan siapa pun termasuk dengan lawan jenis, padahal di sekolah sebelumnya aku terbilang jarang berhubungan dengan kaum adam sekalipun kelas separuhnya dihuni kaum mereka. Bagiku adam hanyalah Pak Ezar, pemuda yang sibuk dengan kuliah semester tua, juga sosok pria cerdas yang belum kutemui ulang pasca perpisahan. Aku ingin ucap terima dan kasih karena dirinya selalu membantu kemalanganku, berusaha mengusir sepiku dengan merekomendasikan buku-buku bacaan bahkan bersedia membelikanku buku kosong untuk dituangi keluh kesahku dari gaji honorernya membersamai siswa.
Di sekolah ini, kebiasaan menuangkan rasa ke buku nyaris luntur karena tiada orang yang membully-ku. Anak-anak mayoritas bersikap apatis, asal tiada yang mulai mengusik maka semuanya berjalan dengan damai. Alesha bahkan sering membuatku terjebak dalam cerita unfaedah, ujung-ujungnya aku gagal mojok dengan buku karena bel sudah berdering nyaring. Hobiku menyendiri mendadak kurang jenak karena kehadiran Alesha, akan tetapi aku tidak bisa mengusirnya, sebab itu merupakan momen langka aku kembali memiliki teman dekat. Kuharap gadis satu itu tidak menyakiti seperti Yulia. Dia amat riang, sampai tangannya begitu ringan menarik lenganku yang masih membawa buku tebal, menyeret mendekat pintu gerbang lalu kami berdua berlari tunggang-langgang menjauhi gedung sekolah.
Dia mengajakku nongkrong di pegunungan pinus dekat sekolah. Kami rebah di bawah hamparan langit yang biru dengan hamburan awan-awan putih. Dia menuding-nuding langit.
“Besok aku mau ke Kalimantan, lalu ke Sumatera,” katanya.
“Kenapa ke sana, jauh, Sha!” celetukku.
“Jauhnya tidak seberapa dengan San Fransisco, Lit! Aku ingin menjelajahi Indonesia seperti keluar masuk kampung sendiri sampai ke sudut-sudutnya,” tuturnya lagi penuh semangat.
Dia memandangku sebelum akhirnya bertanya, “Kalau kamu mau ke mana, Lit?”
“Di rumah saja, asal bisa menemani Mamak aku sudah puas,” jawabku datar, nyaris tanpa intonasi.
Detik itu angin bertiup dari timur, udara merasuki kain seragam yang kami kenakan. Jilbab tipis dikibarkannya, sepatu kami berdua penuh lumpur dan ranting-ranting kering. Udara memang terasa panas, tetapi tidak mustahil pula hujan akan turun tiba-tiba, seperti malam kemarin yang disiram air dari langit. Desember sedang menyapa kalender, bulan itu begitu basah dan lembab, tetapi ada sisi kering yang membuat nyaman karena paduan sepoi dan udara dingin. Daun-daun pinus yang serupa jarum berserak di atas tanah, kami jadikan alas dan merekalah saksi mata obrolan dua gadis pembolos di tahun dua ribuan.
“Nggak asyik ah, Lit! Carilah sensasi dalam hidupmu supaya pengalamanmu luas!”