Badai Indah

Titin Widyawati
Chapter #23

Hukuman

“Intinya jangan bergaul dengan Pelita dan Alesha, nanti ketularan nakal!” seru ketua kelas di depan papan tulis. Aku dan Alesha saling pandang lantas disusul tawa menjelegar.

Itu bukan masalah, lagi pula kami berdua memiliki dunia yang berbeda.

Akan tetapi setelah insiden mendapat hukuman langsung dari kepala sekolah, disuruh berdiri selama empat jam di dekat tiang bendera dengan posisi hormat mendongak kepada sang saka merah putih. Merasakan terik matahari mengusap penuh cinta ubun-ubun kami berdua, membuat peluh bercucuran di pelipis hingga jilbab tipis kami mengeluarkan aroma asam, sejak saat itu—namaku dan Alesha bagaikan burung-burung yang mengepakkan sayapnya ke penjuru arah bahkan sudut-sudut yang tidak kelihatan. Diperbincangkan bukan dengan dengki, diperebutkan hatinya untuk diusik dan digoda. Kakak kelas justru memberi semangat sambil menyenandungkan nama kami tanpa menanggung beban. Mereka menyoraki dari koridor lantai dua, jika ada guru atau kepala sekolah melintas dengan mata melotot, mereka lari terbirit-birit, bahkan pernah ada yang menabrak pintu kelas sampai keningnya benjol. Hukuman menjadi rutunitas kami berdua. Meski dijemur berkali-kali seperti pindang mati, kami tetap tidak gentar.

Ketika ketua kelas mendekritkan pernyataan tidak boleh dekat dengan kami berdua, justru anak-anak banyak yang merapat. Mereka bertanya mengenai keasyikan membolos, tempat mana yang dituju, bahkan jajanan apa yang kami berdua santap. Alangkah serunya sekolah di jenjang SMA, tidak ada yang membenci, semuanya justru dijadikan kelakar. Niatku yang semula ingin mengusung sepi dengan mengasingkan diri dari kerumunan, berbalik arah, aku justru didekati serupa roti dikurubungi semut-semut. Di mata guru, aku pahit karena menciptakan kerusuhan, di mata teman sekelas aku manis karena punya banyak cerita untuk menghibur kepala penat mereka dari pelajaran demi pelajaran.

Sampai tragedi memuakkan itu terjadi, guru BK memanggil Mamak dan wali Alesha. Mereka keluar dengan tatapan tegang dari ruang guru BK, menatap sangsi ke arah kami berdua. Apalagi Mamak yang meluangkan waktu ijin libur dari rumahnya orang kaya, mengabaikan perburuan baju pantas pakai demi menyambut undangan dari guru BK.

Telingaku langsung dipelintir lalu aku digiring pulang.

“Lita! Kenapa kamu melakukan ini kepada Mamak? Kamu bikin rusuh, kamu bikin malu!”

“Nilaiku tidak pernah turun, Mak.”

“Mamak tidak peduli dengan nilaimu, Mamak hanya peduli jika kamu menjadi orang baik dan berguna! Apa gunanya pintar kalau akhlakmu seperti setan?”

“Memangnya Mamak pernah bertemu setan?” Aku menyahut tanpa pertimbangan. Emosi Mamak semakin menjadi-jadi.

“Pelita!”

“Ya, Mak? Tidak perlu berteriak, aku sudah mendengar.”

Tiada kelembutanku semasa kanak-kanak. Aku tumbuh menjadi gadis bebas yang mohon maaf—sedikit berontak. Aku tahu Mamak lelah, tetapi ada hal berat yang melonjak-lonjak di dalam diriku. Entah apa itu, jelasnya perasaan ingin diakui bahwa aku bernilai dengan peringkat, perasaan mau dihargai.

“Kenapa kamu jadi seperti ini, Lita?”

Mamak putus asa, ia duduk di kursi tamu. Aku masih berdiri. Udara siang begitu terik sampai menembus lorong-lorong ruang. Suchi masih berada di sekolahnya. Aku di rumah karena diseret paksa oleh Mamak tanpa peduli jam pelajaranku masih berlangsung.

Lihat selengkapnya