Aku mulai berpikir, akibat ulahku yang semau diri, sekolah terkena imbasnya. Alesha barangkali juga sedang merenungi kesalahannya. Beberapa hari setelah insiden aku ditangkap polisi bersama Juna, dia tidak lagi mengajakku membolos sekolah. Mungkin karena tidak ingin menambah beban hukuman yang perlu kupikul. Skorsing faktanya tidak membuatku jera, hanya saja aku mulai mengakui perbuatanku adalah sebuah kesalahan.
Pada bulan-bulan PPDB (penerimaan peserta didik baru) sekolahku mendapat guncangan hebat dari warga sekitar. Mendadak ada label sekolahnya anak-anak nakal karena siswanya sering membolos ke hutan pinus. Ada berita siswanya sulit dikendalikan, ada pula yang kluyuran sampai larut mengenaikan seragam identitas, terciduk polisi pula. Akibatnya sedikit calon peserta didik baru yang berkenan singgah, tidak memenuhi target dari batas yang ditentukan. Jika diukur sampai angka 100 persen, hasilnya hanya 14 persen saja, padahal sebelumnya sering membludak, sampai-sampai bingung mencari kalimat yang pas untuk menyatakan penolakan.
Rasanya pantas jika Pak Ezar enggan mengakuiku sebagai peserta didiknya, baik di masa lalu maupun mendatang. Kesalahanku fatal dan sulit dimaafkan. Sampai-sampai kepala sekolah sering melotot jika berpapasan denganku. Dia jengkel karena tindakanku yang tidak berpikir panjang, nama sekolah tercemar. Kini aku mendapat tugas baru, mengembalikan nama baik sekolah.
Caranya?
Masalah sekolahku belum kelar, aku sudah mendapat tekanan lebih dahsyat lagi—Juli ketika hari begitu terik dan debu-debu terbang bersama angin ke dunia bagian barat. Rumahku mendadak disergap perasaan dingin, padahal seharusnya aku juga kepanasan serupa lalat-lalat di meja dapur. Suchi bergidik ngeri, dia ngumpet di tempat tidur berhari-hari. Mamak … apalagi dirinya? Dia lebih mempersibuk waktu dengan terus bekerja. Akulah penghuni rumah yang masih setia hilir-mudik ke setiap ruang demi menjaga kewarasan. Detik di musim panas itu merekam seorang lelaki tua, dengan tubuh sekurus rotan kering, berdiri agak doyong dengan tangan tremor memegang knop pintu. Tatapannya amat layu, bibirnya lebih tragis dari retakan sawah musim kemarau berkepanjangan. Kain yang digunakan robek di beberapa sisi. Hal pastinya, ada daki yang menempel pada lekuk tubuh serta menguarkan aroma busuk. Sebelum tiba di depan rumah, aku menyaksikan puluhan anak-anak bertepuk tangan memanggilnya, ‘Gembel’, ada juga yang mengatakan, ‘Orang gila!.’
Ada pikiran egois yang singgah di benak kepala. Tetiba aku nyeletuk, “Ayah, kenapa engkau pulang?”
Bibirku bergetar merasakan ngilu perasaan yang tidak bisa kubuatkan alasan. Sudut mataku yang tadinya kering kerontang mendadak diguyur air hujan. Aku ingin berteriak lantang, kenapa dirinya baru pulang? Kenapa tidak tahun-tahun kemarin? Haruskah sampai tubuhnya koyak penuh kotoran dan dipanggil gembel oleh anak-anak? Kalau mereka tahu dirimu adalah Ayahku, pasti mereka memilih bungkam.
Ayah masuk, ia melangkah menuju dapur lalu duduk di kursi setelah menenggak tiga gelas mineral. Dia diam sampai Mamak pulang bekerja. Begitulah asal-muasal rumah ini menjadi dingin bagaikan bumi kutub utara.
“Makanlah,” perintah Mamak sambil meletakkan lauk tahu bacem ke permukaan nasi.
Aku tidak mengerti alasan Mamak bersikap kaku, tetapi intinya dia masih melayani Ayah—meski agak terpaksa. Tubuh Ayah bergetar hebat saat dia duduk, seperti ada hal berat yang mengguncang fisiknya. Dia menjadi begitu lemah.