Aku masih ingat, hari itu bulan Agustus, ketika bendera-bendera negara dikibarkan angin di jalan-jalanan kampung. Ada pernak-pernik hiasan untuk memeriahkan kemerdekaan, disusul gapura-gapura tiap RT yang dihias dengan cat-cat hasil iuran patungan masyarakat. Agustus begitu terik dan membuat semut-semut malas keluar dari sarang. Pohon-pohon tembakau sedang berbunga, daunnya melebar hijau segar, enak sekali jika digunakan ulat untuk rebahan–begitu luas dan nyaman.
Ruang kelasku mendadak gaduh. Aku dan Alesha langsung melongok keluar jendela, kebetulan sekali adik kelas lari tunggang-langgang menjauhi pintu gerbang. Ada teriakan histeris yang sulit diekspresikan ketika orang-orang berpikir waras. Suara lantai serupa gendang yang ditabuh. Lalu pintu kelas dikunci rapat menggunakan kursi, ada juga yang menjaganya supaya tidak didorong dari luar. Masalahnya mayoritas pintu-pintu di sekolahan ini rusak karena dimangsa usia.
“Hei, tutup jendelanya, Lit! Tarik gordennya!” teriak sang ketua kelas dengan suara garang. Kelas sebelah juga telah tertutup rapat. Guru-guru pun terjebak di ruangannya, sementara gerbang dijaga utuh oleh satpam.
Aku menggaruk kepala yang tidak gatal.
“Memangnya kenapa?” tanyaku dengan begitu polos. Tiada ketakutan apalagi ketegangan di raut wajahku.
Alesha bangkit dari tempat duduk, dia mendekati pintu utama. Menarik siswa laki-laki yang duduk di kursi, dengan santai pula dia tarik handel pintu, melongok ke kanan kiri. Koridor kelas begitu sepi, tiada lagi jeritan dari luar, anak-anak sepakat bungkam sehingga ruang terasa tiada dihuni. Hanya kelasku yang masih berisik dengan pertanyaan yang tidak dianggap bermutu dariku.
“Ada hantu?” Aku justru berkelakar.
“Ada orang ngamuk di luar, kau tahu Lek Imah terluka karena orang itu,” tutur ketua kelas memberi penjelasan.
“Siapa yang ngamuk? Penjaga sekolah? Tukang kebun?”
Desas-desus mengabarkan bahwa penjaga sekolah dan tukang kebun sekolah seringkali marah tidak jelas. Barangkali tersebab kebutuhan ekonomi keluarganya yang begitu tinggi sehingga terbawa emosi. Kalau lagi marah, sekolah yang merasa diuntungkan, pasalnya kedua orang itu akan bekerja lebih gigih. Rumput-rumput di taman sekolah akan dipangkas sekalipun belum meninggi, closet-closet di kamar mandi akan digosok sampai kinclong oleh petugas kebersihan. Jujur, tidak salah kan jikalau pada hari-hari selanjutnya siswa maupun guru mengharap amarah keduanya? Mereka memiliki amarah yang khas dan menyalurkan pada tanggung jawab pekerjaan, tidak menimbulkan perasaan takut di benak siswa-siswa. Lalu … siapa yang mengamuk di luar sana sampai mencelakai Lek Imah?
“Alesha! Tutup pintunya!” pinta seluruh penghuni kelas kecuali diriku. Mereka telah bergidik ngeri membayangkan ada sosok asing masuk ke kelas, lalu mengobrak-abrik kursi dan meja-mejanya.
“Siapa yang sebenarnya kalian takutkan? Aku kepo,” ceplos Alesha lagi.
“Sha!”