Badai Indah

Titin Widyawati
Chapter #26

Butuh Penjelasan

Kini aku baru percaya bahwa sakit fisik lebih baik ketimbang perasaan yang luka bertahun-tahun. Fisik yang lecet bahkan sekalipun dia dijahit berkali-kali, masih memiliki kesempatan sembuh dengan cepat, sementara perasaan? Jika tiada penjelasan dan maaf yang dibutuhkan rasanya mustahil dia kembali seperti sedia kala. Mungkinkah aku butuh pernyataan apologis dari Ayah yang datang mendadak ke sekolah? Aku sendiri sedang sulit memahami isi hatiku.

Semenjak insiden pecahnya kaca—maksudnya kehadiran Ayah yang menggiring aura seram ke sekolah. Aku terkurung di kamar tidur yang berbau apak dan dipenuhi dengan jaring-jaring lebah. Baru aku sadar Mamak bahkan tidak punya waktu untuk mengusir para makhluk spiderman yang asyik bergelantungan di sudut-sudut dinding. Pencahayaan mendadak remang, tidak secerah sewaktu zaman dahulu Ayah sadar. Lagi pula Mamak juga tidak peduli dengan bohlam lampu yang kotor dan keruh, intinya masih menyala maka tetap dipergunakan untuk menerangi walau kadar cahayanya berkurang.

Nyaris satu minggu penuh aku di rumah, meninggalkan buku pelajaran dan cerita iseng Alesha. Kudengar jidat Lek Imah juga dijahit, warga kampung menjenguknya untuk menyatakan keprihatinan, mereka juga mengunjungiku yang terdiam di tempat tidur. Ada wajah-wajah sendu, menyayangkan tindakan Ayah yang terlampau melewati batas. Kenapa seorang Ayah bahkan belum bisa melindungi putri kandungnya? Mungkinkah kelak dia sanggup diandalkan untuk melindungiku?

Teman-teman menanamkan persepsi baru perihal keluargaku, mereka mengunjungiku karena ikut prihatin dengan reruntuhan kaca yang menimpaku. Akan tetapi, mereka tidak berlama-lama berada di rumahku, mereka khawatir Ayah kembali mengamuk. Kepulangannya bukan hal buruk, tetapi lebih memperburuk kedamaian tanah kelahiran. Ayah sedang jalan-jalan, aku berpikir dia mencari angin segar, tetangga merundingkan pekerjaan Ayah yang seperti setrika di atas kain. Dia terkadang tertawa, menangis dalam jerit tragis, melompat serupa ketakutan ada serangga buas, marah dan merugikan orang yang berpapasan dengannya. Maka tidaklah heran kalau Ayah ditakuti oleh banyak manusia, dia dijadikan senjata untuk menakut-nakuti balita tidak makan. Para remaja yang mendapatinya di jalanan akan lari tunggang-langgang, jika tidak memungkinkan maka bersembunyi di sela-sela bumi sampai jasadnya tidak tertangkap manik hitam Ayah. Penghuni desa berkabut mengasingkan diri dari Ayah yang tampak semrawut.

Ayah, sungguh serupa gelandangan, terkadang dia juga tidur di sisi selokan. Paman Faiz dan Mamak menyerah membawanya ke RSJ, biaya telah membengkak, jaminan dari pemerintah memiliki batas, kepala desa juga sudah kewalahan mengurusi Ayah. Alternatif lain adalah dikirimi doa-doa dari orang pintar. Mamak menjadi lebih sibuk dari hari sebelumnya, dia mencarikan tabib terkenal untuk mengirimi Ayah doa, syukur-syukur ada obat yang bisa meredam kegilaan Ayah.

Lihat selengkapnya