Badai Indah

Titin Widyawati
Chapter #27

Protes

Tuntutan kalimat pertanyaan yang kugiring kepada Ayah tidak berlangsung sehari. Aku terus melemparinya pertanyaan demi pertanyaan, berharap menemukan sebuah jawaban pasti yang membuatku mau memahaminya. Aku banyak berpikir sementara Mamak semakin banyak diam. Aku paham, Mamak mengalami guncangan dahsyat setelah suaminya pulang dari perjalanan panjang yang tidak terarah. Atau bisa juga lebih dari itu, dia menyesal telah memiliki pasangan yang kewarasannya bersembunyi di dunia lain. Sementara asumsi warga sekitar bagaikan benalu yang singgah di hatiku. Ingin kuusir, tetapi sulit sekali, benalu-benalu itu justru tumbuh subur meski tiada yang merawat.

“Ayah!” jeritku dengan mata berbinar.

Lelaki tua itu berdiri di depan jendela, menghadap lapangan yang rumputnya panjang dan belum dipotong. Beberapa sampah makanan ringan berterbangan di permukaannya. Dua gawang dengan jaring jebol dan tiang besi yang berkarat disepuh usia, terlihat kontras dalam pandangan.

“Dulu itu adalah tempat favoritmu, kau sering mengajakku bermain di sana, kau menaikkanku di bahumu lalu bercerita banyak hal perihal hidup, ingatkah itu?”

Ayah diam, tatapannya lurus ke depan.

“Ayah! Dengar dan gunakan hatimu! Kasihan Mamak …,” ungkap hatiku dalam protes. Lalu ada serak yang ikut menegangkan perasaan. Ada asin di kerongkongan yang muntah.

“Mamak seharusnya tidak terlihat tua, seharusnya dia tampil menawan dan cantik jika kau ingat! Karena keadaanmu, Mamak terpaksa menjadi pekerja yang gila dengan uang! Tidak kenal waktu, tidak kenal lelah! Pernahkah kau dengar rintihan Mamak karena mengeluh tubuhnya linu? Pernahkah kau memperhatikan Mamak mengurut betis dan telapak kakinya? Pernahkah kau sadar bahwa Mamak memperjuangkan aku dan Suchi untukmu, Ayah?”

Lelaki tua itu tetap diam. Aku kesal diabaikan, memilih pergi meninggalkannya berangkat sekolah.

Ketika Mamak tidak ada di rumah, Suchi sekolah dan aku juga, rumah digembok erat. Mamak takut Ayah kabur dan mengamuk warga sekitar. Kondisi Ayah tidak stabil. Adakalanya dia lembut serupa roti yang manis, pun tidak jarang dia bersikap bringas serupa kerasukan setan. Intinya mata Ayah begitu mendung ketika lemah, lalu berkilat merah saat marah-marah. Sepulangnya dari bekerja, Mamak akan mendapati ruanganya serupa kapal pecah. TV yang terjungkir, sementara layarnya rusak, kursi-kursi yang tidak pada tempatnya, beberapa piring dan gelas pecah, pakaian-pakaian berserak di berbagai penjuru, disusul nyala krans kamar mandi yang begitu berisik.

“Ayah! Pernahkah kau memikirkan perasaan putrimu? Bagaimana dia bergaul dengan lingkungan sekitar sementara Ayahnya mendapat label orang gila?” Aku mengajaknya berdiskusi lagi di lain hari.

Lihat selengkapnya