Badai Indah

Titin Widyawati
Chapter #29

Ingat

Tubuh Ayah semakin kurus, dia tidak makan jika tiada yang menyuapi. Dia juga enggan minum, jikalau tidak ada yang membantunya. Kedua tangan tergembok rapat. Aku hanya ngeri membayangkan kandang itu tiada yang menunggu. Bagaimana jika malamnya ingin buang hajat, ingin minum atau sekadar merenggangkan tubuh? Aku yakin, Ayah sangat tersiksa. Akan tetapi tiada saudara yang mau melepasnya. Terkadang terbesit keinginan untuk mencuri kunci gembok dari persembunyian Pakde Karim dan Paman Faiz, sayangnya aku tidak tahu di mana mereka meletakkannya.

Lama-lama tulangnya menonjol keluar. Sementara kulitnya bertambah putih bersih karena jarang terkena paparan sinar matahari. Kalaupun ada maka hanya percik dari lorong-lorong gedek yang dipantuli sinar pagi.

Mamak selalu mengirim makan, tiga kali sehari. Kadang dirapel di waktu pagi, lantas pada jam-jam makan Paman Faiz akan datang, membantu Ayah makan, memberikan suapan dengan sabar. Kalau Ayah sedang mengamuk, dia akan menyembur wajah Paman Faiz dengan nasi atau minuman. Dia berontak, tetapi tidak dilepas. Ayah sebenarnya ingin keluar dari kerangkeng pasung. Aku membaca tubuhnya yang kelelahan.

Ketika Paman Faiz pergi, sepulang dari sekolah aku akan mendorong pintu kandang, menghampiri Ayah, bertanya banyak hal kepadanya, sekalipun tidak menuai jawaban. Ayah memejamkan mata, tidak memandangku, akan tetapi terkadang juga memberikan tatapan tajam serupa orang tua yang dilanda rindu berbulan-bulan sewaktu anaknya berada di asrama. Mungkinkah Ayah mengingat diriku?

“Ayah,” panggilku agak lirih. Aku tidak ingin mengganggu ketenangan kambing-kambing.

Suaranya berisik khawatir membuat Ayah marah.

“Kapan kau akan sembuh? Sebentar lagi aku lulus, apakah kau juga tidak akan datang ke acara perpisahan sekolahku lagi?”

“Aku selalu berusaha tegar, mengabaikan teman lain yang orang tuanya utuh, tetapi … sejujurnya aku sangat iri kepada mereka sekalipun bibirku mengatakan tidak apa-apa. Mamak … dia datang jika senggang, kalau tidak? Bisakah kau bayangkan betapa tersiksanya batinku selama ini?”

“Ayah, aku sangat marah padamu karena kau tidak bisa mengingat namaku ….”

Aku membersihkan wajah Ayah dengan tisu basah. Dia terus melihatku, tidak menyemburkan air liur seperti ketika Pakde Karim datang. Aku menggunakan kesempatan itu untuk menyuapinya makan, anehnya dia juga tidak memuntahkan suapanku. Dia terus memakan apa yang kumasukkan ke dalam mulut.

“Apakah kau mengenaliku, Ayah?”

Lihat selengkapnya