Aku tidak ingin membuang waktuku, surat Ayah cukup menjelaskan begitu kepeduliannya untuk keluarga. Aku menyesal karena sempat marah bahkan dulu membencinya. Aku harus katakan kepada orang bahwa Ayah sosok kuat, hebat, tegar dan bertanggung jawab. Sekalipun dia dalam keadaan lupa, dia ingat—ingat pada putri-putrinya untuk menafkahi—memberi uang jajan. Uang itu aku bagi dua dengan Suchi. Kusuruh Suchi menyimpan dengan baik, atau menggunakan dalam kemanfaatan.
“Ini perjuangan Ayah demi memberi kita kecukupan, sekalipun sedikit tapi uang ini harus bisa mengantarkan kita pada keindahan di masa depan. Kamu harus jadi anak yang baik, kakak juga akan berusaha jadi anak baik yang diharapkan orang tua. Satu lagi, kita berdua harus rajin sembahyang dan mengaji!”
“Kak Lita kesurupan jin dari mana?”
Mungkin dia heran karena melihat perubahan dariku yang bergerak secara drastis. Setelah perburuan kolong dipan, aku menangis seharian, mengurung diri di kamar. Protes kepada takdir yang membuat fisik Ayah terpasung. Tengah malamnya, aku sadar mungkin itu memang yang terbaik saat ini. Lagi pula Mamak sudah kehabisan biaya, Mamak juga perlu melanjutkan biaya sekolahku dan Suchi. Aku harus berpikir matang. Segera lulus sekolah, lantas membantu Mamak mencari rupiah untuk menyelamatkan Ayah. Aku yakin di rumah sakit akan membuat Ayah lebih terawat, tidak dengan dengkur kambing, tidak beraroma busuk tai-tai kambing, tidak dengan gigil di sela dinding-dinding bambu.
Aku ingin menolong Ayah. Maka perpisahan kelas XII—ku merupakan momen paling kunanti. Aku mulai gigih belajar. Lebih serius daripada ketika di jenjang tsanawiyah. Semua buku pelajaran aku baca tanpa terkecuali sekalipun aku tidak memahaminya. Bermain dengan Alesha kusingkirkan sejenak. Intinya aku tidak mau diganggu siapa pun, kecuali dalam bidang pelajaran. Beruntung sekali Alesha memahami, dia justru memberiku support. Alesha sungguhlah sahabat terbaikku selama hidup. Aku akan senantiasa mengenang senyum pahitnya. Akan aku rekam kisah-kisah hidup getirnya sebagai seorang anak yatim piatu, anak yang lahir dari mantan penipu, mantan preman. Banyak kisah perihal Alesha yang perlu dibongkar, akan tetapi aku tidak punya banyak waktu untuk mengurainya. Aku ingin Ayah segera mendapatkan tempat layak.
Maka … panggung perpisahan yang sakral itu menjadikanku lega, walaupun Mamak tidak datang. Itu bukan masalah, aku memang sudah terbiasa seorang diri. Sebelumnya guru-guru selalu geram dengan tingkahku yang suka membolos, akan tetapi, di hari perpisahan itu mereka menyalamiku penuh cinta, memeluk tubuhku erat-erat seolah tidak mau melepaskan. Selain itu, aku juga mendapat juara pertama. Kebangaan tereguk oleh dada Pak Ezar, guru yang dahulu memberiku buku kosong itu datang untuk memberi ucapan selamat. Dia penopang langkahku yang akan tumbang. Karena dialah aku terpaksa mengulum senyum seindah mawar, menahan tangis seluas danau, menyembunyikan luka-luka di kediaman rumah, supaya tidak terlihat malang. Ini pasti ulah Paman Faiz, menyuruh Pak Ezar datang di acara perpisahanku. Entah berapa lama pria tua itu menghubungi Pak Ezar. Dia terlihat lebih dewasa dari sebelumnya, lebih tenang dan seperti siap menyongsong kehidupan baru. Mendadak terbesit pikiran egois, aku tidak ingin dia menikah. Jika dia sudah dimiliki oleh orang lain, masihkah dia akan peduli dengan satu murid didiknya ini?
Dia sedang sibuk menyambut sidang skripsinya.
“Menangislah jika memang dirimu mau menangis!” seru Pak Ezar membuat langkahku hambar.
Aku telah meninggalkan hiruk-pikuk gedung. Souvenir perpisahan telah terkalung sebagai kenang-kenangan, riasan tipis di pipiku juga mulai luntur. Hanya baju kebaya sewaanlah yang masih memiliki wibawa acara perpisahan. Sepeda motor wali murid dan mobil yang mereka parkir silih bergantian meninggalkan area sekolah. Aku dan Pak Ezar melangkah di sisi parkiran. Kalimat Pak Ezar, membuatku ingin duduk di bangku cor-coran semen, tepat di bawah pohon kelengkeng yang gagah dan rimbun. Ketika itu matahari tidak begitu terik. Juni membawa hujan lebat di waktu sore, lantas anak manusia meringkuk di sela-sela bangunan bumi. Tanah terasa lembab, udara khas pegunungan, segar dan tentunya mencucuk sel-sel kulit, sekalipun matahari bersinar.
Pak Ezar berdiri di sisi bangku cor-coran semen.
“Pak Ezar tahu Ayah saya dipasung di kandang kambing?” tanyaku.
Dia membalas dengan anggukan.
“Dari Paman Faiz?”
Dia mengangguk lagi.
“Paman Faiz memang cerewet,” celetukku membuat sunggingan senyumnya terbit.
“Saya tidak mau menangis, itu perbuatan yang melelahkan. Saya lelah!” lanjutku.
“Tapi kalau mau menangis, menangis saja.”
Aku diam sejenak. Mengamati ujung sepatu berhak tinggi yang juga kusewa kemarin. Rasanya pilu, tiada Mamak yang memelukku. Kalau aku iri dengan teman lain … apa boleh? Alesha yang orang tuanya sudah meninggal saja memiliki tamu undangan, duduk di kursi paling belakang, menyaksikan dirinya tampil. Kenapa Mamak tidak datang? Ayahku juga masih hidup. Ah, Pak Ezar membuat suasana hatiku menjadi gundah. Hal yang sudah kutata sedemikian kuat dia robohkan.
“Jangan memberi saya nasihat, saya sedang malas mendengar. Kau tentu disuruh Paman Faiz untuk membimbingku ke jalan benar, kan? Tenang saja, saya akan melakukan yang terbaik untuk hidup, saya tidak akan berbuat aneh-aneh lagi,”