Badai Indah

Titin Widyawati
Chapter #32

Pulang

Langkah baru dimulai. Aku mengepak pakaian ke dalam ransel. Pamit kepada Mamak mau merantau ke luar kota, hari itu tujuanku Yogyakarta. Ada orang yang menawariku bekerja di sebuah restoran. Rencananya aku mau menimbun rupiah terlebih dahulu, jika sudah agak banyak mau kugunakan untuk melamar kuliah. Hmmm … semoga lamaranku kelak diterima oleh institusi pendidikan. Aku tidak mau kehilangan banyak waktu, maka selepas lulusan tanpa nganggur berkepanjangan, aku langsung merangkak ke Yogyakarta—tanpa diantar, tidak juga ditemani rekan.

Hari itu teman-teman seangkatanku sedang sibuk memilih-milih kampus tujuan. Mereka hilir-mudik mengamati lingkungan tempat belajar di masa depan. Yulia bahkan sempat pamer foto-foto kampus bergengsi di Semarang dan Solo. Dia juga mengikuti jejakku melalang buana ke Yogyakarta. Aku tidak paham apa maunya dia, tetapi jelasnya Yulia sempat membuat batinku panas.

Aku susah payah mencari pekerjaan, menjadi pelayan restoran dengan upah dipotong bayar kos-kosan, dipotong biaya hidup dan makan di Yogyakarta. Dia seenaknya datang dan pergi ke restoran yang kukerjai, makan gurame bakar, foto bersama teman-temannya di atas gazebo, lantas bercerita panjang lebar—cerita yang unfaedah karena sekadar humor atau obrolan perihal kaum adam. Aku melayani Yulia dengan sopan, memposisikan diriku sebagai pelayan sungguhan. Anehnya, Yulia bersikap seolah tidak pernah mengenalku.

Sementara nasib Alesha jauh lebih baik, kudengar dia mendapat beasiswa untuk kuliah di Universitas Diponegoro Semarang. Aku senang meski hal itu membuat hubungan pertemananku dengannya semakin renggang. Alesha belajar sambil bekerja mencari rupiah. Dia terkadang meluangkan waktu untuk menghubungiku demi melepas penat.

Aku terjebak dalam tempurung kemiskinan yang membelenggu. Mustahil meminta bantuan biaya kepada Mamak, Ayah … apalagi. Orang tuaku bertambah ringkih dan kurus. Hidup penuh derita membuat keduanya terlihat lebih tua dari pada usia yang sesungguhnya. Ayah detik itu bahkan tidak mampu berteriak lantang seperti dulu, sekalipun dia masih mengamuk dan meronta.

Uang pemberian Ayah masih kusimpan, beberapa kubelikan bolpoin sebagai modalku belajar di masa mendatang. Sekalipun aku hanya seorang pelayan, tetapi aku aktif membaca buku demi menghalau kebodohan. Aku ingin pulang membawa kemenangan pendidikan, juga membawa banyak uang untuk menolong Ayah. Maka jangan terkejut, jika kau dapati aku seperti zombie, tidak pernah tidur sekalipun tubuh merapuh dan merintih minta diistirahatkan.

Pada jam kerja aku akan menuntaskan tanggung jawabku, lepas dari restoran aku memburu pengetahuan di warung internet atau tempat-tempat yang dipenuhi buku. Kadang aku sengaja ke toko buku, bukan untuk membeli, melainkan membaca sempel buku yang sudah dibuka. Terkadang aku menelusuri hiruk-pikuk keramaian Malioboro, mengasingkan diri dari tatapan hampa para pedagang yang menanti penghasilan. Mereka begitu melas, dagangan setumpuk gunung seolah belum dilirik pembeli, padahal pengunjung begitu ramai, apalagi jika ada pentas seniman angklung atau musisi papan atas. Dari sinilah aku belajar, mencari uang di negara sendiri memang terlampau sulit, padahal kebutuhan mengalir sederas hujan di bulan-bulan basah.

Aku ingin menyelamatkan keluargaku dari kemiskinan, dan menerapi Ayahku sendiri, maka rencanaku yang gemilang adalah kuliah di bidang psikolog. Aku ingin meneliti perasaan Ayah dengan ilmu pengetahuan. Mimpi itu begitu dekat dan nyata di Yogyakarta. Sayangnya badai baru menerjang hidupku. Badai yang memporak-porandakan langkahku. Aku yang bertekad, dibuat tumbang. Aku yang semangat, dihancurkan. Aku menjadi terasing di kota pendidikan. Meluapkan pedih dalam hiruk-pikuk persoalan hidup. Manusia tiada yang mengerti, betapa lukaku sudah meruncing menjadi duri-duri—kesemuanya menusuk relung sanubari.

Ketika malam tahun baru, Paman Faiz menghubungiku dengan suara serak. Dia menyuruhku pulang untuk menghadiri perpisahan dengan jasad Ayah.

“Tidak …! Paman bercanda, kan?”

“Maaf, Lita. Mas Arul—Ayahmu sungguh meninggal,”

“Kau terlalu lama memasungnya!”

Lihat selengkapnya