Sebelum acara turnamen sepak bola. Aku dan Ayah meluangkan waktu untuk bermain kejar-kejaran di teras rumah. Kala itu hari kian terik sementara daun-daun bunga terompet milik tetangga digoyang angin. Udara terasa kering, meskipun begitu Ayah menyeringai damai. Sesekali aku meniupkan gelembung sabun ke wajah Ayah. Mamak keluar dari dapur bersama si mungil Suchi yang menarik-narik rok panjangnya, karena ulahnya rok Mamak nyaris melorot. Mamak sedikit ngedumel. Ada satu piring pisang goreng lengkap dengan kopi panas dan dua gelas susu cokelat yang kesemuanya mengepulkan asap. Kemudian hidangan itu diletakkan di atas meja bambu yang reyot. Mamak bergabung dengan kami, bermain gelembung-gelembung sabun. Suchi bertepuk tangan ingin memecah gelembung-gelembung. Aku menggerutu karena susah payah meniupnya, tetapi dilomba-lombakan untuk dihancurkan. Kenapa tidak dibiarkan membumbung tinggi di angkasa? Kan lebih cantik, paduan warna pelangi yang melingkar seperti bola kaca, pantulan langit, transparannya lembah ladang yang mengular megah. Jika bibirku mengerucut, Ayah akan menciumnya manja.
Senyum itu ditampung oleh serumpun gelembung yang terbang di ambang udara. Tawa menjelegar Suchi, tawa lepas Mamak yang mengutarakan cinta tanpa alasan. Kebetulan sekali Ayah tidak bekerja, dia ambil libur. Entah apa alasannya, tetapi sudah nyaris dua pekan Ayah tidak bekerja. Intinya Ayah seorang buruh petani di desa tetangga, dia merawat sayuran brokoli dan kentang maupun sayur bunga kol, serupa merawat cintanya pada keluarga. Hasil lelahnya dibungkus rapat sebagai oleh-oleh kepulangan yang diberikan kepadaku dan Suchi. Aku senang sekali jika Ayah membawa jajan, kalaupun tidak dia akan membawa satu ikat bunga liar yang dia pungut di jalanan.
Kebetulan Ayah tidak berkendara, dia mengangsur jarak dengan berjalan kaki menapaki jalanan berbukit dan terkadang diapit oleh hutan lebat. Ayah mencari jalur alternatif yang paling dekat, akan tetapi justru jauh dari keramaian. Ketika Ayah menjumpai bunga, dia sengaja memetik untuk melihat senyumku yang melegakan. Begitu kisahnya. Ayah merupakan pangeran berjubah putih tanpa kuda yang amat tampan, dia kekasih pertamaku yang kelak akan aku duakan dengan suamiku. Aku mencintainya, aku senantiasa merindukannya sepanjang detik, terkadang aku lukis wajahnya di permukaan kaca jendela yang dipenuhi embun. Tidak jarang juga aku mengocehkan gurauannya menjelang tidur.
“Aku kangen Ayah, Mak. Kira-kira dia pulang kapan?” tanyaku ketika malam begitu larut, seketika wajah Mamak merengut.
“Sudah malam, tidurlah. Besok jika musim panen usai, pasti Ayah akan pulang!” jawab Mamak kemudian memelukku erat disusul membungkusku dengan selimut tebal.
Dua pekan mendadak terasa mengasyikkan. Kami banyak bermain, Ayah bahkan mengajakku ke ladang, menggendongku di atas kepalanya, merentangkan tanganku lebar-lebar. Malam harinya, dia juga menghitung bintang di angkasa, bercerita penuh karangan bebas sambil tertawa dan mengusap ubun kepalaku.
“Ayah sangat menyayangimu, Lita. Jadilah anak yang baik dan bisa mengangkat derajat Mamakmu, ya? Kalau dia marah jangan pernah diambil hati, dia pun menyayangimu akan tetapi terkadang lelah dengan pekerjaan rumah, bantulah dia kelak, jangan membuatnya menangis!” katanya panjang lebar, sebuah kalimat yang ketika itu belum terlalu kupahami.
Keriangan dua pekan kami, mendadak hilang satu hari sebelum turnamen sepak bola di lapangan depan rumah dilaksanakan.
Hari itu, sore, tatkala langit memberikan warna paling megah dengan nilai artistik maksimal di belahan bumi barat, begronnya sempurna karena dipeluk oleh lembah gunung yang membiru. Ayah dan Mamak sedang duduk di ruang tamu, tetiba ada ketukan punggung tangan dari tamu yang tidak diundang. Tamu itu seorang wanita agak muda—lebih muda dari Mamak. Rambutnya lurus serupa bunga jagung, disemir cokelat, matanya menggunakan lensa, kakinya dijunjung oleh sepatu hak tinggi. Dan yang paling terkenang, dia membawa kantong kresek raksasa berisi penuh dengan jajanan. Aku yang kala itu masih kecil, belum begitu memahami hidup, langsung lari menghambur, mengecup punggung tangannya, bersikap sesantun mungkin demi mengambil isi hatinya.
Aku sibuk menyantap jajan bersama Suchi di ruang tengah. Serial kartun meraung-raung minta diperhatikan, tetapi kami berdua sibuk makan.