Bapakku adalah Matahari yang selalu terbakar amarah, terlahap oleh awan hitam yang biasa disebut dengan nama Mendung. Ibuku adalah Mendung. Sedangkan aku adalah hasil buah dominasi kebencian antara Matahari dan Mendung, seolah aku adalah sosok yang tercipta dari sebuah keterpaksaan. Tak mengapa, Tuhan sudah memberiku takdir sedemikian rupa.
____
Kesaksian: Siang itu, aku baru saja menginjakkan kaki di sebuah istana yang kusebut itu neraka. Aku tinggal diujung gang berlantai dua, di sebuah kota besar yang disebut dengan Jakarta, kehidupan Jakarta tidak terlalu cocok untukku.
Aku memiliki kedua orang tua yang sama-sama..., gila. Aku tumbuh besar dengan watak dan diksi yang carut marut. Mungkin itu yang menyebabkan pikiranku sedikit terganggu. Teman-teman kelasku sering berkata: Aku hasil dari sebuah kondom bocor, atau yang lebih menyakitkan, aku adalah anak haram. Aku tidak peduli dengan ucapan-ucapan itu, aku lebih memilih untuk mengumpat dalam hati dan berkata kepada diriku sendiri: “Tunggu suatu saat nanti, mereka akan menjilat semua ucapannya, di ujung sepatu hitamku!” Saat aku masuk ke dalam rumah, suasana rumah terlihat sangat sepi, tidak seperti biasanya: Selalu ada keributan yang datang dari suara Matahari atau tangisan dari suara Mendung. Namun, ketika aku selesai mengganti pakaian sekolah dan akan mengambil makanan di dapur, kakiku menginjak cairan yang sangat tidak asing lagi bagiku. Darah segar menggumpal di lantai yang berasal dari leher Matahari. Lantas, kemana Mendung? Kemana ibuku? Suara kecil terdengar dari sumur tua belakang rumah, itu bukan kuntilanak atau dedemit jail lainnya.
Aku mendapati ibuku sedang tertawa dan menangis, meratapi tangannya yang berlumuran darah dan masih menggenggam palu di tangan kirinya, juga arit di tangan kanannya. Kemungkinan besar ia akan terjun ke lubang yang sudah tidak berisi air sejak beberapa tahun yang lalu. Ternyata tidak, tangisan dan tawanya tiba-tiba saja berhenti, dan matanya menatap tajam tepat di wajahku, kemudian tersenyum yang membuat siapapun melihatnya akan bergidik ngeri. Tanpa menunggu diserang, aku lari keluar rumah, dan meminta pertolongan warga. Nahasnya, tidak satupun orang yang mau mendengar ucapanku saat aku berteriak minta tolong. Barulah, saat Mendung mengejarku, beberapa tetangga panik melindungiku.
Mendung terlihat seperti orang yang sedang kesurupan, mengacungkan palu dan aritnya tepat ke wajah para tetangga.
“Kemarikan anak sialan itu! Ia sudah membunuh suamiku! KEMARIKAN!” katanya seraya mengacungkan kedua benda itu.
Hingga, beberapa orang memberanikan diri untuk menenangkan Mendung dari murkanya. Sial, itu semua sia-sia, bahkan salah satu diantaranya terkena sabetan arit di bagian tangan kirinya, untungnya tidak mengalami luka yang cukup parah. Sampai dua orang lelaki datang, salah satu di antaranya membawa tali tambang yang biasa digunakan untuk mengikat atau menyeret sapi, lalu melemparkan ujung tali kepada lelaki satunya, keduanya terlihat seperti orang yang akan memainkan tarik tambang. Dengan menghitung maju, mereka berlari dan menabrakkan tali yang sudah melintang itu tepat di tubuh Mendung. Seketika, Mendung terjatuh dan dua senjatanya terlempar kebelakang. Buru-buru kedua lelaki itu mengikat Mendung, sampai para polisi datang menjemputnya, dan rumahku sudah menjadi tempat kejadian perkara. Kejadian mengerikan itu tidak akan pernah aku lupakan, ditambah dengan ucapan para tetangga, yang menafsirkan bahwa Mendung dirasuki jin jahat.
“Ia anak PKI, wajar ia memilih senjata seperti itu. Semoga Tuhan mengampuninya di rumah sakit jiwa.” kata salah satu perempuan lainnya yang sudah berumur dan gendut berkata kepada perempuan disebelahnya. “Syukur ia sinting, kalau tidak ia akan dipenjara.”
Tak mengapa, aku tidak akan bersedih untuk itu. Justru aku bahagia, Mendung bisa ditahan di rumah sakit jiwa, dan tidak akan ada lagi keributan di rumahku yang serupa neraka selama aku hidup. Tidak ada lagi, kegaduhan dan piring pecah di pagi hari.
Tak penting lagi memikirkan orang yang sudah mati dan satunya masuk ke rumah sakit jiwa. Mereka sudah tidak ada lagi dalam hidupku. Mereka sudah pergi. Hanya menyisakan Mendung, yang suatu waktu akan keluar dan menjadi perempuan normal seperti sedia kala. Jika ia sembuh.
Selama beberapa hari, garis polisi menyilang di depan rumahku. Selama beberapa hari itu pula aku harus tidur bersama dengan Ujang Klowor di sebuah mushola dekat dengan rumah. Ujang Klowor bukanlah seorang marbot, melainkan gelandangan yang tidak tahu kemana harus tidur dan meluruskan beberapa tulang yang tergeser akibat terlalu lama berjalan. Belakangan ia sering membawa beberapa botol plastik yang mungkin saja akan ia jual kepada para penadah barang rongsok, mungkin juga ia akan membangun sebuah gubuk kecil dari tumpukkan botol plastik itu sendiri. Siapa yang peduli dengan apa yang akan dilakukan gelandangan seperti Ujang Klowor yang selalu pulang membawa sekarung botol plastik. Asal ia tidak mengotori mushola, maka warga akan tetap membiarkan kebiasaannya dan tetap mempersilahkan Ujang Klowor tinggal di mushola. Untuk itu, ia selalu meletakkan beberapa karung botol plastik di belakang mushola. Warga sekitar tidak ada yang jahat kepada Ujang Klowor, setiap pagi selalu ada makanan yang bahkan cukup untuk dua orang, tergeletak di samping tempat tidurnya. Sekali waktu aku melihat salah satu warga membawakan makanan berupa nasi uduk dan juga beberapa gorengan serupa bakwan dan tempe mendoan. Sial, ia tidak benar-benar baik, ia tidak mau membagi secuil makanan untukku.
Jadilah, aku harus pergi sekolah dengan perut yang kosong. Meski demikian, keberuntungan seorang bocah yang ditinggal mati bapaknya dan ibunya masuk rumah sakit jiwa, tidak berhenti di hari kejadian. Nenek Tuli selalu mengajakku untuk makan di warungnya sebelum berangkat sekolah. Nenek Tuli sangat baik kepadaku. Jauh sebelum Matahari menjadi mayat di dapur, dan Mendung terisolasi di rumah sakit jiwa, Nenek Tuli selalu memberiku beberapa makanan kecil atau permen untuk dibawa ke sekolah. Mungkin lantaran ia tinggal sendiri, dan menjadi perawan hingga tua, maka target kebaikannya hanya bocah-bocah kecil seusiaku. Tidak denganku saja ia baik, kepada anak para tetangga juga demikian baik.