Aku adalah Bintang Fajar. Akankah ada pertemuan antara fajar dengan Bulan? Tidak jika pagi itu mendung.
____
Setelah merenung cukup lama dan kembali pada masa lalu yang menyedihkan. Aku terbangun dan sadar aku telah terlambat untuk pergi sekolah. Sebagai seorang murid yang taat oleh peraturan, dan tak ingin terlambat, maka aku putuskan untuk tidak berangkat pagi itu, dan memilih untuk melanjutkan tidurku, lantaran di malam harinya sosok hantu mendatangiku, sepertinya itu Matahari lantaran tak terima di bunuh oleh Mendung. Lagi-lagi, itu hanya sepertinya.
Setelah terbangun di saat siang sudah menggelayut manja di atap rumah. Aku memutuskan untuk bangun dan mandi. Selepas mandi dan sudah merasa segar, aku pergi dari rumah dan mengunjungi Nenek Tuli, lantaran lapar yang sudah tidak tertahankan. Barangkali ada masakan lezat siang itu. Dan, sesuai dugaan, Nenek Tuli menggoreng ayam.
“Aku lapar, bolehkah aku makan di sini?” kataku seraya mengelus perutku seperti perempuan yang sedang mengandung.
“Makanlah, seperti biasa kau makan di rumahku,”
Tanpa menunggu waktu yang lama, aku langsung mengambil makanan yang disediakan oleh Nenek Tuli, dan memakannya dengan lahap. Selepas makan, suara sendawa yang cukup keras keluar dari mulutku, membuat beberapa orang disebelahku menggeleng heran. Apa peduli mereka, seperti tidak pernah melihat orang bersendawa. Aku meminta rokok kepada Nenek Tuli, kali ini aku membelinya, bukan hanya sekadar meminta. Aku memberinya uang dua puluh ribu, dan meminta Nenek Tuli untuk menyimpan kembaliannya empat ribu.
“Aku sudah makan dengan gratis di warungmu, setidaknya, biarkan kembalian yang tak seberapa itu menjadi hakmu,” kataku setelah meminta Nenek Tuli menyimpan kembalianku. “Anggap itu untuk simpananku, ketika nanti aku tidak punya uang membeli rokok.”
“Kenapa kau tidak sekolah?” tanya Nenek Tuli kepadaku seraya membereskan beberapa piring yang tergeletak di meja bekas orang-orang lain. “Mau jadi bodoh seperti Ujang Klowor?”
“Aku kesiangan, bukan berarti aku menjadi bodoh,” kataku sekenanya.
“Tidak ada kata terlambat untuk pergi ke sekolah, meski terlambat adalah hal yang dilarang oleh gurumu,” kata Nenek Tuli dan membawa piring-piring itu masuk ke dalam rumah. “Lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali.”
Aku hanya diam saja mendengar Nenek Tuli berbicara seperti itu. Itu memang pernyataan yang bisa dibenarkan. Namun, aku tidak terlalu memikirkan hal itu, bahkan tidak sempat untuk mengingat, lantaran pikiran bukan berada pada ucapan Nenek Tuli, melainkan, kemana aku akan pergi setelah aku lulus sekolah. Sempat terpikir olehku, aku akan menjadi bandar togel serupa Matahari, bapakku. Tapi, aku tidak mau masuk dan keluar penjara gara-gara tertangkap karena sedang bertransaksi. Kejahatan itu tidak setimpal dengan malunya. Bagiku, menjadi bandar togel tidak begitu menyenangkan. Sempat terpikir pula, aku akan merantau dan mencari pekerjaan, namun aku kembali bertanya pada diriku sendiri, apa yang aku bisa? Tidak ada. Aku tidak bisa bekerja berat, lebih tepatnya aku tidak mau kerja berat. Satu-satunya yang aku bisa adalah belajar. Aku tidak cukup pintar dalam pelajaran, tapi aku bisa mengikuti beberapa pelajaran. Titik kepintaran dari seorang murid, menurutku adalah mereka yang pandai dan mengerti dengan matematika. Makan mereka pintar. Justru sebaliknya, jika tidak bisa matematika, maka mereka adalah murid biasa sepertiku, yang selalu diomeli ibunya, ketika ibunya menemukan angka merah pada mata pelajaran matematika. Syukurlah aku tidak mendapat angka merah pada mata pelajaran apapun. Jadilah, aku memutuskan untuk kuliah saat itu. Dimana aku akan berkuliah? Entahlah, aku tidak memikirkannya kala itu, selagi masih ada kampus swasta, aku tidak membutuhkan kampus negri, seperti yang diidam-idamkan orang tua murid. Karena, bagiku tidak ada bedanya, yang membedakan adalah gengsi. Tidak menutup kemungkinan, mereka yang kuliah di kampus negri juga sama tololnya dengan mereka yang tidak memakan bangku sekolah, tidak pula dengan attitude.
“Bawa pulang benda menjijikkan ini,” kata Nenek Tuli seraya melempar pisau, palu dan arit di atas meja, untunglah itu tidak mengenaiku. “Cuci, dan kubur, agar tidak ada yang menemukannya,”
Aku belum paham dengan maksud dan tujuan Nenek Tuli melempar ketiga benda itu. Namun, setelah aku perhatikan secara jelas, itu adalah benda yang dipakai Mendung untuk membunuh Matahari kala itu. Masih ada bekas darah di ujung pemukul palunya, dan sedikit noda di aritnya. Namun, pisau yang bersih.
“Kau yang membunuh bapakku?” tanyaku dengan wajah datar. “Kenapa ini ada di rumahmu? Lalu pisau daging ini milik siapa?”
“Jangan salah sangka, aku tidak pernah membunuh apapun bahkan siapapun,” jawab Nenek Tuli “Meski hanya seekor nyamuk atau semut. Kembalilah ke rumah ini setelah kau sudah lulus sekolah, maka kau akan menemukan jawaban siapa yang sebenarnya membunuh Matahari, bapakmu itu. Sebelum hari itu tiba, jangan injakkan kakimu di rumahku, kau sudah tidak sekecil dulu, kini kau sudah menjadi remaja badung, yang mungkin sudah kehilangan keperjakaanmu, meski dengan tanganmu sendiri. Aku akan pergi beberapa bulan ke rumah adikku, maka kau harus mencari makanmu sendiri.”
“Maka jangan mati sebelum kembali dan menyambut kelulusanku.” kataku dan membuang rokok yang sudah pendek, lalu pergi meninggalkan Nenek Tuli dan membawa ketiga benda itu dengan menggunakan karung beras yang diberikan oleh Nenek Tuli, agar para warga juga tidak akan bertanya-tanya.
Benar saja, keesokkan harinya, Nenek Tuli terlihat sedang menunggu sebuah mobil di persimpangan jalan, tepat di depan bengkel milik Tarman yang belum buka, dengan tas besar, yang barangkali isinya adalah pakaian dan itu pasti pakaian, tidak mungkin potongan daging manusia. Aku bangun lebih awal, agar tidak terlambat sekolah. Aku tidak mempunyai teman yang mau menghampiriku dan membangunkanku ketika pagi menyongsong hari. Satu-satunya teman yang aku anggap teman hanyalah Nenek Tuli. Aneh, seorang remaja menjalin pertemanan dengan nenek-nenek tua yang hingga saat itu masih perawan. Begitulah pengakuan para warga.
“Kau benar-benar akan pergi?” tanyaku seraya menghampiri Nenek Tuli.
“Seperti yang ada dihadapanmu, aku membawa pakaian banyak, karena aku akan tinggal selama beberapa bulan di sana,” katanya tanpa melihat ke arah lawan bicaranya. “Aku akan kembali ketika kau lulus, beritahu aku ketika kau lulus, kirimi aku pesan ketika kau sudah lulus.”
“Baiklah.”
Angkutan umum tujuan sekolahku sudah datang, dan aku siap meninggalkan Nenek Tuli sendirian menunggu akutan umum tujuannya. Entah kemana, aku juga tidak ingin bertanya.