Badut Merah Muda

yRiyan
Chapter #3

Anak Anjing!

Aku adalah Bintang Fajar. Matahari akan dilahap oleh Mendung. Maka, cerita itu harus seperti semestinya alam bercerita.

____

 

Sudah genap delapan minggu aku menjalani hidup tanpa Matahari dan Mendung berada di rumah dan membuat kegaduhan. Sudah tidak adalagi tangisan dan rintihan sedih yang terdengar dari suaru Mendung. Yang ada hanyalah, suara minta tolong dari sosok yang tak terlihat. Kadang juga suara menjerit marah, dan bisa kupastikan suara jeritan marah itu berasal dari Matahari. Aku tidak terlalu takut dengan hantu, jika mereka masih berwujud manusia biasa. Kuntilanak tidak pernah menakutiku, mungkin karena aku tampan, hingga ia lebih memilih untuk diam dan menikmati ketampananku. Sangat percaya diri sekali dengan opini bahwa aku tampan.

Selepas pertemuanku dengan Bulan dua bulan lalu. Aku selalu berada di kafe tempatnya bekerja, yang baru kusadari setelah pertemuan itu, nama kafenya adalah, Medusa Coffee. Aku sering berkaca di cermin lemari, dan menyadari bahwa, aku tidak terlalu buruk jika dibandingkan dengan artis Korea atau Hollywood sekalipun. Aku percaya bahwa aku lebih tampan dari Indra Brukman. Itu hanyalah pembelaan pada diriku sendiri, terlepas orang lain percaya atau tidak, buktinya tidak ada yang peduli. Untuk kala itu, aku membiarkan diriku percaya bahwa aku sama tampan dengan Robert Pattinson.

Lantaran pertemuan pertama, dan membuatku juga sedikit bertanya-tanya. Kenapa ia mau berkenalan denganku dan kenapa teman-teman sekolah tidak ada yang mau menjadi temanku? Mungkinkah lantaran Bulan tidak mengetahui latar belakang keluargaku? Tapi, belakangan, aku juga menceritakan kepadanya bahwa ibuku masuk rumah sakit jiwa lantaran membacok leher bapakku. Tanggapannya ternyata jauh dari dugaanku.

“Ibuku mati gantung diri tiga jam setelah melahirkanku. Ayahku pergi setelah tahu bahwa anak yang dilahirkan istrinya adalah perempuan. Maka aku diasuh oleh kakek dari ibuku, hingga detik terakhir ia juga mati karena minum tuak dicampur dengan obat kuat.” katanya suatu ketika saat aku menceritakan tentang keluargaku, “Beberapa orang mengatakan bahwa aku adalah anak pembawa sial, termasuk ayahku. Katanya: Perempuan tidak bisa berbuat apapun, mereka hanya bisa meminta uang bulanan tanpa harus bekerja. Maka setelah ibuku melahirkan anak perempuan, ia pergi, dan lantaran gila karena cinta, ibuku gantung diri. Semua orang yang aku cintai mati, tapi aku hanya mencintai kakekku.”

Setelah percakapan yang ditemani dengan santapan ketoprak pada malam itu. Aku dan Bulan masih terus bersama setelah ia pulang kerja. Meski hanya lima menit lantaran hujan yang menerjang kota Jakarta. Setidaknya lima menit bersamanya, bisa membuat jagat bumi ini berhenti berputar. Begitulah kiasan yang aku gunakan untuk memuji cintaku pada Bulan. Ya, aku paham dan aku sudah memastikan bahwa aku jatuh cinta pada Bulan. Mengapa? Karena cinta selalu menimbulkan rasa rindu. Tiada detik yang aku lewatkan tanpa merindukannya. Terlepas aku belum juga tahu, ia sudah punya kekasih atau belum, sejauh pengetahuanku, ia tidak mempunyai kekasih, karena ia selalu bersamaku. Terlepas ia mau atau tidak denganku yang umurnya terpaut empat tahun lebih tua dariku, sejauh pengetahuanku, ia masih belum menampakkan tanda ia bosan denganku selama dua bulan itu.

Siang itu adalah upacara pelepasan murid kelas tiga. Ya, aku sudah lulus sekolah. Upacara pelepasan berlangsung secara haru. Beberapa di antara mereka saling berpelukan seolah mereka tidak akan pernah bertemu selamanya. Beberapa di antara mereka juga ada yang saling berciuman di belakang sekolah dan saling menangis lantaran harus berpisah karena salah satu di antara mereka harus menempuh pendidikan di luar negri, entahlah itu benar atau tidak, aku hanya mencuri dengar dari teman-temanku yang lain. Sementara itu, aku lebih memilih untuk duduk seraya menikmati es teh dan kesedihan mereka. Kendati menangis, tersentuh karena jeritan bahagia dan sedih dari mereka pun tidak. Entah karena aku tidak memiliki teman, atau jangan-jangan aku tidak punya rasa simpati. Aku kadang heran dengan diriku sendiri.

Matahari sudah merayap dari atas kepala menuju atap belakang sekolah. Beberapa murid mulai bosan dengan hiburan yang tidak begitu menyenangkan. Beberapa dari mereka memilih untuk pulang lebih awal, lantaran acara yang membosankan. Mataku menemukan satu pasang murid yang sedang bertengkar di ujung koridor kelas. Asumsiku, si lelaki ketahuan selingkuh dan si perempuan tidak terima akan hal itu, atau si perempuan hamil dan si lelaki tidak mau bertanggung jawab karena ia belum bekerja. Begitulah hari itu berjalan, hanya mengasumsikan perbuatan murid-murid lain, dan juga memergoki guru yang sedang berselingkuh di kamar mandi sekolah, aku tidak melihat perbuatan mereka di dalam kamar mandi, pun tidak peduli. Aku hanya menemukan mereka diam-diam masuk ke dalam salah satu kamar mandi sekolah, itu saja. Aku hanya berdiam diri dan memperhatikan sekelilingku, tanpa berharap ada seseorang yang datang menghampiriku, sekadar menyapa atau mengucapkan kata perpisahan tidak akan bertemu dengan anak seorang bandar togel sepertiku, sebelum satu rombongan menenteng plastik berisi es teh.

“Hei, Bintang,” kata salah satu dari rombongan itu, aku tidak menjawabnya, lebih tepatnya tidak menyangka akan disapa oleh gerombolan murid populer di sekolah, setidaknya itu fakta yang aku temui selama sekolah. Mereka adalah Kejora dan kawan-kawannya. Kejora adalah ketua dari gerombolan itu. Mereka terkenal bukan karena pangkat orang tuanya yang menduduki sekolah, melainkan karena tingkah mereka yang sering membuat ulah. Boleh jadi, saat itu mereka sedang merencanakan sesuatu yang jahat kepadaku sebagai salam perpisahan.

“Heh!” sapanya lagi dengan nada sedikit tinggi, “Kau tuli?”

“Aku hanya diam, bukan berarti aku tuli,” kataku seperti ucapan Nenek Tuli kepada semua warga.

“Kenapa kau berada disini? Sedangkan mereka sedang merayakan perpisahan dengan teman-temannya?” tanya si Kejora.

“Aku tidak pernah punya teman di sekolah ini, satu-satunya temanku hanya kursi dan meja di kelasku,” kataku sekenanya, “Hanya dua benda itu yang tidak pernah malu berteman dengan anak seorang bandar togel dan ibu yang sinting sepertiku, bahkan aku berani bertaruh, semua guru yang berada di sana tidak mengingat namaku. Termasuk kalian,”

“Buktinya aku menyapa dengan menyebut namamu,” kata Kejora.

Tiba-tiba saja, tanpa aku perintah dan tanpa aku persilahkan, Kejora duduk di sebelahku dan ikut bersandar di dinding. Ia hanya terdiam, lalu tangannya seakan memberi isyarat kepada pengikutnya untuk pergi meninggalkan kami berdua. Aku hanya bertanya-tanya dalam pikiranku: Ada apa dengan perempuan ini? Mungkinkah sudah habis lelaki yang ada di kehidupannya, hingga ia putus asa dan menghampiriku. Selepas teman-temannya pergi meninggalkan kami berdua, ia masih diam. Mulutku sudah gatal untuk bertanya kepadanya, ada apa, mengapa, dan kenapa. Tapi, gengsi mengalahkan segala keinginanku untuk bertanya, seperti Hera yang berhasil menghasut pikiran Hercules untuk membunuh anak-anak dan juga istrinya: Megara.

“Kau tahu, sudah lama aku mengamatimu,” katanya lebih dulu. Aku bersyukur ia bertanya lebih dulu.

“Tidak, aku tidak tahu akan hal itu,” kataku sekenanya tanpa memandang wajahnya.

“Kau terlalu tidak peduli dengan manusia di sekelilingmu,” kata Kejora lagi, “Bahkan, kau tidak pernah tahu siapa namaku,”

“Siapa yang tidak mengenal perempuan sepertimu, Kejora,” kataku lebih ketus dari sebelumnya, “Perempuan dengan sederet pengikut yang mengekor dibelakangmu, primadona yang diincar seluruh pujangga sekolah. Aku penasaran, sudah berapa banyak surat cinta yang kau dapat dari buah pikiran gombal lelaki di sekolah ini?”

“Ternyata kau juga sama seperti mereka, mengamatiku,” katanya diam sejenak, dan aku masih menunggu jawab dari pertanyaanku, “Sedari aku sekolah di sini, ada lima ratu lima puluh lima surat yang aku bakar di tong sampah,” lanjutnya menjawab pertanyaanku.

Lihat selengkapnya