Bagaimana Aku Bertemu Kematian

Achi TM
Chapter #1

Bab 22 - Pengkhianatan

Aku

Aku kembali membaca surat yang ditulis Nenek untukmu, Kek. Aku bertahan dengan segala emosi yang menguasaiku. Dalam surat Nenek yang barusan kubaca, terkuaklah sebuah misteri yang selama ini aku pertanyakan. Mengapa aku hanya punya Nenek dari pihak bapak? Aku … dan Sena adalah saudara? Ah, tidak, tidak. Deni Ramadhan Romanjaya, apakah itu nama ayahnya? Berarti ayah Deni adalah anak angkat dari Steven Cow atau Abdul? Entah mengapa, fakta bahwa kami tak bersaudara membuat aku lega.

Miss Margaretha kembali memintaku melanjutkan membaca isi surat.

Masihkah Mas Hanif ingat, setelah dengan ikhlas kita merawat Farah, Kinah lalu diberi anugerah kehamilan oleh Allah? Betapa bahagianya kita saat itu. Betapa beruntungnya kita saat anak yang lahir ke dunia adalah anak lelaki. Anak lelaki yang tampan dan lucu. Anak lelaki yang menjadi pelengkap keluarga kita. Mas Hanif, Kinah, Farah yang sudah berusia dua tahun, dan Firza, buah hati kandung kita.

Ah, Mas Hanif, mengingat masa lalu selalu membuat saya menyesal. Saya menyesal tidak melarang kamu pergi. Tapi, saya tak punya hak. Kamu sudah menceraikan saya. Berbulan-bulan saya memohon kepada Allah agar kamu kembali, tapi kamu tak juga kembali.

Jadi, bolehlah saya menuliskan hal-hal yang saya ingat agar Mas Hanif juga ingat. Karena, kenangan-kenangan itulah yang mengikat kita, bukan? Saya yakin, setelah Mas membaca surat ini, Mas Hanif akan kembali kepada saya. Kepada Kinah. Karena, Kinah percaya, cinta yang sudah kita rajut bertahun-tahun tak akan padam hanya karena pertengkaran. Tak akan lenyap hanya karena ketakutan Mas Hanif atas kematian, bukan?

Kenanglah, Mas ….

Kenanglah saat-saat kebersamaan kita. Saat kita menyusuri Pantai Parangtritis di Yogya, menikmati senjanya sambil berharap semoga kita bisa tetap bersama sampai tua. Saat bisnis Mas Hanif harus terpuruk untuk kedua kalinya, saya dan anak-anak men-support Mas Hanif. Ingatkah saat Mas Hanif memutuskan untuk menjual perusahaan? Farah datang membawakan kue yang Farah buat sendiri. Farah lalu berkata, “Farah berulang kali gagal membuat kue ini. Tapi, Farah tidak menyerah, ini adalah percobaan Farah yang ke-41 dan Farah berhasil.”

Lalu, kamu memeluk Farah dan menangis. Kamu malu diajarkan soal pantang menyerah oleh anak berumur sepuluh tahun. Lalu, Firza yang sudah berumur delapan tahun ikut menyerahkan hasil karyanya. Gambar wajahmu yang harus ia gambar berulang-ulang agar mirip denganmu. Mereka mengajarkan kamu pantang menyerah, kemudian kamu bangkit lagi. Dan, voila, Mas … usahamu melesat tinggi.

Dari hasil usahamulah kamu mewujudkan impian saya, memberikan saya uang untuk bisa membangun rumah sakit, membangun laboratorium, meskipun soal V-Diamond yang dicuri itu ... ah … sudahlah.

Waktu terus merangkak jauh dan anak-anak kita tumbuh besar. Sampai berita pahit itu berembus kencang tanpa pendahuluan. Membuat kita terkaget-kaget. Farah jatuh cinta. Firza pun jatuh cinta. Tetapi, mereka tidak jatuh cinta dengan orang lain. Ya, mereka saling mencintai. Jatuh cinta satu sama lain. Saya sempat kalut, sempat tidak terima melihat mereka berdua berpelukan di suatu gerimis senja yang terlihat romantis.

Padahal, sebagai orangtua, kita sudah sekuat tenaga memberikan pengajaran agama. Kita sudah memberikan pemahaman sebaik mungkin bahwa Farah bukanlah anak kita, bahwa Farah bukanlah mahram Firza, bahwa mereka berdua bukanlah kakak adik kandung. Mereka paham. Mereka menerima … lebih dari sekadar menerima, mereka jatuh cinta.

Ingatkah kamu, Sayang, saat kamu akhirnya uring-uringan dan berusaha memisahkan mereka? Kamu memarahi Firza habis-habisan, kemudian menghukumnya dengan menyuruh Firza pergi ke Pesantren Hidayah. Bersama neneknya di sana. Farah menangis di kamar, ia memberontak. Pergaulan anak muda sudah semakin masif. Sekuat apa pun kita membentengi diri dengan agama, kita tak bisa menghalau pengaruh negatif dari luar.

Kemudian, seminggu setelah Firza di pesantren, Ummi dan Pak Kiai serta beberapa ustaz mendatangi rumah kita. Mereka mengatakan bahwa Firza ingin menikahi Farah. Jalan satu-satunya untuk menjaga hati kedua orang yang saling mencintai dan tak terbendung cintanya adalah menikah. Katamu, “Itu gila.” Firza baru sembilan belas tahun saat itu dan masih kuliah. Diskusi pun memanas.

Saya ingat sekali momen-momen itu, Mas. Bagi saya, itu adalah momen yang indah. Karena, saya melihat kesungguhan di wajah Firza. Dengan lantang dan tegas, ia berkata, “Saya menikah karena Allah, saya mencintai Farah karena Allah, dan saya akan menafkahi dia.”

Saya bangga berhasil mendidiknya menjadi anak saleh. Kamu pun luluh. Pernikahan anak-anak kita pun terjadi begitu cepat, sederhana, dan khusyuk.

Kebahagiaan merasuki keluarga kita setahun kemudian setelah anak pertama mereka lahir. Ya, cucu kita, cucu yang sangat kita cintai. Soraya Handayani. Raya. Cucu yang kelak kita jaga dengan sangat hati-hati. Bahkan sangat hati-hati agar kita tidak mengulangi kesalahan yang sama.

Tak terasa, aku terisak membaca kisah cinta ayah dan ibuku. Nenek tak pernah menceritakan ini sebelumnya. Mereka ternyata dibesarkan bersama. Aku baru mengetahui kenyataan ini sekarang. Sungguh membuat pilu sehingga aku semakin tak sabar untuk bertemu dengan Kakek.

***

 

Saya

Saya akhirnya paham bahwa hidup ini berjalan ke arah kematian. Kata-kata itu saya resapi, bukan sebuah tulisan belaka. Saya melewati detik demi detik, menit ke menit, jam melompati jam, hari berganti hari, bulan berganti musim, bersama perempuan yang saya cintai. Sakinah Husnul Khatimah. Sudah 26 tahun kami melukis kehidupan bersama di atas kanvas pernikahan. Aneka warna sudah kami tumpahkan, segala gambar sudah kami lewati, berbagai frame dalam hidup telah kami nikmati.

Hari ini adalah hari pemakaman mama saya. Beliau perempuan kuat, meninggal di usianya yang ke-75. Insya Allah dalam keadaan husnulkhatimah. Saya yang membimbing Almarhumah pada detik-detik terakhir. Saya melihat dahinya berkeringat dan lafaz syahadatnya begitu lancar. Napasnya lepas teratur. Saya meyakini bahwa Malaikat Izrail pasti mencabut nyawanya dengan lembut. Bau wangi semerbak meliputi kamar tempat Mama meninggal. Saya yakin malaikat-malaikat sedang membentangkan permadani putih, mengajak Mama pergi dari jasadnya dengan senyum semringah.

Apakah saya bisa seperti Mama? Saya bahkan tak menangis melihat Mama menutup mata. Setelah 26 tahun, akhirnya saya paham dan mengerti mengapa saat Bang Nero meninggal Mama tak lagi menangis. Istrinya tak lagi bersedih. Sesiapa pun yang meninggal dengan husnulkhatimah, pastilah berada dalam kebahagiaan. Lantas, mengapa harus kita tangisi jika kelak almarhumah akan bahagia? Insya Allah bahagia.

Apakah saya bisa seperti Mama? Lalu, tebersit pertanyaan lain. Seperti apakah kematian saya? Apakah saya bisa meninggal dengan tenang? Di mana? Bersama siapa? Kapan? Apa sebabnya saya meninggal? Dan, ratusan pertanyaan sepele lainnya.

Lihat selengkapnya