Bagaimana Aku Bertemu Kematian

Achi TM
Chapter #2

Bab 23 - Akankah Kembali Pulang?

Aku

Aku masih bergetar membacakan surat Nenek yang ditujukan untuk Kakek.

Sejak Firza meninggal dalam kecelakaan itu, kamu mulai berubah. Kamu mulai menganggap Allah tidak adil. Allah itu Mahaadil, Mas. Saya adalah orang yang paling terluka atas kehilangan Firza, tapi saya yakin Allah Mahaadil, Allah Mahabaik. Allah tak ingin Firza terjebak dalam pernikahannya dengan Tania. Saya yakin Firza husnulkhatimah. Bukankah ia sudah bertobat dan Allah adalah Maha Pengampun?

Jangan lagi menyalahkan diri atas kematian Firza. Ketika kamu memintanya untuk menyusul Tania, itu adalah kehendak Allah. Sudah diatur oleh-Nya. Maka, ikhlaskan semuanya, Mas. Saya katakan pada Raya, jika kamu sudah membaca surat ini, Raya boleh membacanya dan ia harus membacanya. Ia harus mengetahui hal-hal yang selama ini kita sembunyikan.

Raya harus tahu bahwa ayahnya meninggal karena kecelakaan saat mengejar Tania. Mereka meninggal bersamaan. Ayahnya bukan meninggal karena kanker. Ibunya sakit kanker karena perasaan sedih yang mendalam sehingga ia kalah oleh penyakit itu. Saya bersyukur Firza tidak meninggal di jalan. Ia sempat diopname selama beberapa hari, sempat berbicara pada kita, sempat meminta maaf kepada Farah, berkali-kali memohon ampunan kepada Allah, dan sayalah yang membimbing dia pergi.

Allah Mahabaik, Mas. Maka, jangan takut lagi kepada kematian. Allah yang menentukan kehidupan kita. Pun ketika Mas Hanif kembali dipertemukan dengan Heru. Mas Hanif malah ketakutan bukan main. Takut karena ternyata istrinya masih hidup. Mas Hanif mulai kembali bermimpi soal perempuan berjilbab hijau dengan motif bunga matahari. Setiap malam, kamu ketakutan dan memohon kepada saya agar tak lagi menerima istrinya berobat di Rumah Sakit Sehat Sentosa. Ketakutanmu semakin berlebihan.

***

 

Saya

Saya menarik jilbab hijau dengan motif bunga matahari yang hendak digunakan oleh Sakinah dan melemparnya sekuat tenaga ke lantai. Saya seperti orang ketakutan, diburu kematian. Saya terengah-engah. Sakinah memandang saya nanar. Kami tak pernah bertengkar hebat selama empat puluh tahun pernikahan kami, tapi pertengkaran kali ini tidak bisa dielakkan.

“Sudah saya bilang, jangan pakai jilbab itu! Ini sudah keempat kalinya saya harus marah oleh hal yang sama, Sakinah!”

“Tapi, ini hadiah dari istri Pak Heru, Mas Hanif. Sebagai tanda terima kasih karena Mas Heru menjadi sehat setelah berobat di Rumah Sakit Sehat Sentosa.”

“Justru itu … saya takuti itu!”

“Ini jilbab langka, hanya diproduksi satu. Bunga mataharinya bukan hasil cetakan, tapi buatan tangan. Beledu serta ornamennya dijahit tangan. Dari pengrajin di Turki, makanya ini jilbab spesial.”

“Justru itu yang saya takuti! Kalau hanya ada satu jilbab di dunia, maka saya akan segera mati begitu bertemu dengan perempuan yang memakai jilbab itu, dan dia sekarat!”

“Mas Hanif mendoakan saya sekarat? Saya memang sudah tua dan sakit-sakitan, tapi saya tidak sekarat.”

“Ya, tapi kematian bisa menimpa siapa saja, termasuk orang sehat seperti Bang Nero!”

“Mas Hanif tahu hal itu, jadi mengapa harus takut? Mimpi Mas Hanif pasti akan jadi kenyataan karena setiap orang pasti meninggal, termasuk Mas Hanif. Jadi, kenapa harus takut? Ke mana menguapnya ilmu agama yang selama ini Mas amalkan?”

“Cukup! Jangan ceramahi saya!” Saya mengambil jilbab dari lantai, kemudian membawanya ke luar kamar. Saya akan bakar jilbab ini sehingga tak perlu lagi merasa ketakutan.

Sakinah menyusul saya, menghadang saya, dan berusaha sekuat tenaga mengambil jilbab dari tangan saya.

“Ini hanya jilbab, Sakinah! Saya bisa membelikan sepuluh yang lebih bagus dari ini!”

“Ini bukan soal jilbabnya, ini soal Mas Hanif. Kalau saya membiarkan Mas membakar jilbab ini, berarti sama saja saya menyetujui ketakutan Mas Hanif. Mas harus membiarkan saya memakai jilbab ini dan lawan ketakutan Mas!”

“Saya tidak mau kamu meninggal, Sakinah! Saya mencintai kamu.”

“Saya juga mencintai kamu, Mas, tapi setiap orang pasti akan meninggal. Tak terkecuali, Mas. Tak terkecuali. Saya memakai jilbab ini atau tidak, saya pasti akan meninggal, Mas. Begitu juga dengan Mas Hanif.”

“Cukup! Cukup! Saya akan pergi! Saya akan pergi dari kamu. Kamu tidak mau mendengarkan saya lagi, kamu keras kepala! Saya akan menceraikan kamu!”

Dunia sudah meledak di kepala saya. Tangisan Sakinah terdengar seperti peluru yang menembus jantung saya. Tapi, saya tak mau mati. Saya harus lari dari kematian.

***

 

Aku

Lihat selengkapnya