Bagaimana Aku Bertemu Kematian

Achi TM
Chapter #3

Bab 24 - Pertemuan Di Ambang Kematian

Aku

Aku tak percaya pada pandanganku. Aku berpisah dengan Miss Margaretha di bandara. Ia harus melanjutkan perjalanan bisnisnya ke Paris. Begitu aku tiba di rumah sakit, di ruang rawat Nenek, hal yang pertama aku lihat adalah sosok tegap Kakek. Meskipun sudah berumur 77 tahun, ia masih tampak gagah dan rupawan walaupun tubuhnya rapuh.

“Akhirnya aku bertemu denganmu, Kek ...,” gumamku pelan tapi berhasil membuat Kakek menoleh kepadaku.

“Raya …,” suaranya parau tapi masih hangat. Suaramu yang aku rindukan, Kek.

Aku berlari menyongsongnya, hal yang sudah lama ingin kulakukan. Aku memelukmu, mencium punggung tanganmu, Kek, lalu kamu membelaiku, menepuk pundakku. Kehangatan dan kasih sayang yang hilang selama sepuluh tahun terakhir.

“Kamu sudah besar, Raya.”

Aku melihat air matanya mengalir deras. Ia terisak.

“Maafkan Kakek, Nak. Maafkan kebodohan Kakek.” Kamu lalu memelukku erat.

Seandainya saja itu terjadi. Seandainya saja aku bisa bersua denganmu. Tapi, semua itu hanya sekelebat imajinasi. Aku memang melihatmu di ruang kamar Nenek. Tapi, kamu berbaring kaku, tempat tidurmu dan tempat tidur Nenek bersisian. Membuat aku pilu.

Dokter Faisal dan Dokter Barbara beserta staf mereka meminta aku untuk keluar dan mengajakku berbicara di ruang pemantauan.

“Ada apa ini?” Sekarang air mataku yang meledak. Seluruh tubuhku ngilu.

“Lima jam yang lalu, beberapa orang berlarian ke ruang UGD membawa seorang kakek tua yang mengalami kecelakaan lalu lintas di jalan raya. Taksi yang ditumpanginya menabrak truk molen. Ternyata kami mengenalinya, dia Tuan Hanif.” Dokter Barbara angkat bicara.

“Lalu, kenapa dirawat satu ruangan dengan Nenek?”

“Kami sudah membawanya ke ruang ICU, di sana detak jantungnya malah melemah. Seorang dari beberapa pemuda yang membawa Tuan Hanif memberi tahu kalimat yang disebut oleh Tuan Hanif sebelum beliau koma.” Dokter Faisal menjelaskan.

“Apa itu?” Aku mulai tak sabar.

“Ya Allah, aku ingin kembali menikahi Sakinah,” ujar Dokter Barbara lembut. “Karena itulah, saya berinisiatif membawanya kemari. Selama tiga jam di ruangan itu, detak jantungnya stabil. Sepertinya ia bisa merasakan kehadiran Madam Sakinah.”

Aku meremas jemariku, perasaan haru yang ingin meledak. Kenapa di saat seharusnya terjadi sebuah pertemuan indah malah menjadi seperti ini? Skenario-Mu, ya Allah, begitu dahsyat, dan hamba tak mampu mengelaknya. Koma berdua. Apakah sesuatu yang romantis atau tragis?

“Nenek ingin sekali meninggal sebagai istri seorang Hanif,” ujarku di sela isak. “Kita harus membuat mereka menikah kembali sebelum meninggal.”

“Raya, kami hanya manusia biasa. Bila Allah berkehendak mereka meninggal dalam keadaan menjadi duda dan janda, kita tak bisa mengelak.”

“Justru karena kita manusia kita harus berusaha semaksimal mungkin. Kita usahakan. Urusan hasil, kita serahkan kepada Allah. Dia yang Maha Berkehendak dan tugas kita adalah berusaha. Usahakan!” tegasku.

Dokter Barbara dan Dokter Faisal mengangguk. Mereka bergegas mencari tim dan mempersiapkan berbagai peralatan untuk membantu menyadarkan Kakek dan Nenek. Mereka baru koma, belum titik. Masih ada jeda.

Di tengah kesibukan para dokter, ponsel klasikku berbunyi. Aku menepi mencari tempat sepi dan menjawab panggilan.

Lihat selengkapnya