Aku
Aku sangat berterima kasih kepada Sena. Setelah mendengarkan ceritaku dengan singkat, ia segera melakukan sesuatu. Sena beserta para ilmuwan di perusahaannya sedang mengembangkan teknologi baru, yaitu Touch Type 2. Jika Touch adalah program komputer, robot di dalam layar yang dibenamkan memori orang-orang yang sudah meninggal seolah-olah orang itu masih hidup di layar, maka Touch Type 2 khusus diperuntukkan bagi orang yang koma.
Aku sangat membenci Touch karena aku pikir itu membodohi masyarakat sehingga menghilangkan rasa takut akan kematian. Ketika rasa takut itu hilang, maka mereka akan lalai dalam mencari bekal menuju akhirat. Apalagi layar Touch sering menampilkan kebohongan dengan memberikan visual alam kubur yang sebenarnya hal gaib. Semua yang baik atau jahat semasa hidupnya, beragama atau tidak beragama, semuanya terlihat bahagia di dalam kubur. Seolah menafikan keberadaan alam barzakh serta menafikan Malaikat Munkar dan Nakir.
Namun, Sena menjelaskan kepadaku bahwa ia pun sebenarnya tak setuju dengan Touch. Itulah sebabnya ia menerima saja ketika warisan perusahaan Touch jatuh ke tangannya. Misi Sena tak lain adalah menghapus Touch dari makam. Menjadikan makam kembali menjadi guru bisu. Guru sunyi yang mengajarkan makna hidup sesungguhnya.
Sejak setahun lalu, diam-diam Sena dan timnya menciptakan teknologi Touch Type 2 ini, fungsinya hanya untuk menolong orang-orang yang koma dan kritis. Aku kurang paham bagaimana cara alat itu bekerja. Sena menjelaskan begitu singkat.
“Alat ini akan bekerja langsung pada syaraf otaknya. Meskipun matanya tertutup, tapi alat ini memberikan visualisasi. Nenek dan Kakek akan melihat kita dari alam bawah sadarnya. Kita memberikan sugesti positif, menghubungkan Nenek dan Kakek dalam satu kabel kecil. Sehingga, mereka bisa bertemu di dimensi yang diciptakan alat ini. Mereka akan memberi kekuatan satu sama lain untuk bisa sadar. Alat ini juga mendeteksi bagian-bagian tubuh mana saja yang rusak dan harus diperbaiki demi menunjang kesadaran mereka.”
Aku mengangguk mendengarkan penjelasan Sena yang panjang lebar.
“Raya?”
Aku menoleh kepadanya.
“Tugas kita sekarang adalah berdoa kepada Allah.”
Aku mengangguk. Sulit untuk banyak berkata-kata. Aku melihat jam tangan Sena bergetar, ia segera keluar dari kamar dan sepertinya menerima panggilan telepon. Beberapa saat kemudian, ia kembali dengan terburu-buru.
“Raya, aku harus pergi,” Sena memberi instruksi kepada timnya agar bergegas. “Kakekku kritis, dia terus memintaku di sisinya.”
“Tapi …,” sekonyong-konyong, aku takut ditinggal sendirian meskipun Dokter Faisal dan Dokter Barbara ada di sini. “Bagaimana kalau alat ini tidak bekerja dengan baik? Kamu bilang, ini pertama kalinya dioperasikan pada manusia.”
“Tenang saja, Raya. Semua sudah melalui berbagai uji coba. Aku akan meninggalkan dua teknisi di sini. Dokter Faisal dan Dokter Barbara juga akan membantumu, kan.”
“Tapi, Sena …,” aku menatap mata Sena. Kami saling bertatapan untuk beberapa detik sebelum akhirnya Sena memalingkan wajah. Entah mengapa sebuah perasaan asing datang memelukku. Perasaan tak ingin ditinggalkan. Ingin Sena ada di sini. Tapi, aku segera menepis perasaan itu. Terdiam. Terpaku dan kehilangan kata-kata.
“Tenang saja, Raya, ada Allah. Ada Allah di sisimu.” Tangan Sena terangkat seolah ingin menepuk bahuku tapi dia urungkan. Dengan canggung, Sena berpamitan kepada semua orang dan mendelegasikan alat Touch Type 2 kepada dua anggota tim yang ditinggalkan di sini.
Aku memandang punggungnya dan merasa bahwa aku akan merindukannya.
Perasaanku kali ini tidak meleset. Waktu berputar begitu cepat. Daun-daun berguguran setiap hari dan angin tak henti-hentinya berputar ribut di luar sana. Musim angin panas, seharusnya musim hujan. Tapi, pada masa ini, musim sudah tak lagi beraturan. Angka kalender di jam tanganku terus berputar, berpacu setiap hari. Matahari berganti bulan, bulan tidur, matahari muncul, begitu seterusnya sampai tiga purnama.
Dua orang yang mengurusi mesin Touch Type 2 tidak banyak bicara. Mereka hanya bekerja sepanjang hari, bergantian memeriksa mesin agar tetap pada kondisi prima. Dokter Barbara dan Dokter Faisal juga secara berkala memeriksa kondisi Kakek dan Nenek.
Sudah 92 hari aku tidak bertemu Sena. Ini agak aneh karena pertemuan kami selalu terjadi setiap hari berturut-turut selama satu minggu, kemudian lenyap selama tiga bulan. Seperti ada jejak hati yang sengaja ia tinggalkan. Membuat aku resah. Resah karena Kakek dan Nenek tidak juga sadar dari komanya meskipun kondisi mereka cukup stabil. Resah karena Sena tiada berkabar.
Pernah sekali aku mengontaknya, Salsabila yang mengangkat. Ia bilang, “Papa sedang sibuk mengurus Kakek. Membersihkan kotoran Kakek, memandikan Kakek, menyuapi Kakek, membacakan Kakek Alquran. Papa bahkan tidak pergi ke kantor.” Begitu celoteh Salsabila. Setidaknya aku tahu apa yang dia lakukan. Apa yang kami lakukan sama.
Mendadak, aku merasakan sehelai benang yang kuat mengelilingi kami. Sena adalah cucu angkat dari Abdul, mantan sahabat kakekku. Lalu, aku adalah cucu kandung Abdul dan kakekku. Pertemuan superrumit ini siapa lagi yang mengatur jika bukan Allah Swt.?
Dari cerita Salsabila tentang keseharian Sena, aku semakin yakin bahwa ia adalah lelaki yang baik dan saleh. Ia begitu tahu bagaimana caranya berbakti dan membalas budi. Atau semua itu hanya demi warisan? Astagfirullahalazim, Raya … terlalu negatif.