Angin malam yang dingin menerpa halus raut wajah kebahagiaan Bagas dan Ayu. Hidup mereka telah kembali, dan senyum sumringah terlihat jelas di wajah mereka yang masih nampak muda. Semesta telah mengabulkan keinginan mereka, dan kini mereka telah kembali menjadi manusia fana. Sang waktu berkuasa lagi atas tubuh mereka yang akan menjadi tua, layu dan mati suatu saat nanti.
Seorang perempuan setengah baya nampak berdiri tidak jauh dari mereka. Cahaya remang-remang rembulan sabit menerpa wajahnya yang tirus kurus dengan rambut yang penuh uban. “Bapak… Ibu…” gumam pelan perempuan itu masih menatap mereka. Bibirnya bergetar ketika mengucap kata itu, dan ia tidak beranjak dari tempatnya berdiri. Perlahan airmatanya mulai menetes melewati kedua pipinya yang sudah berkeriput. Namanya Abigail, seorang janda tua beranak dua, dan telah mempunyai empat cucu. Ia anak semata wayang Bagas dan Ayu. Ia-lah hasil perpaduan cinta dua insan yang telah menempuh jalur hidup ratusan tahun.
Arah angin berbalik membawa gumam Abigail sehingga terdengar di telinga Bagas, dan terasakan di hatinya Ayu, dan serentak mereka terpaku diam. “Anakku.” seru Ayu dengan suara mindeng dengan bibir yang gemetar haru, lalu Ayu menuliskan bahasa isyarat di telapak tangan Bagas, “Itu Abigail. Anak kita.” Bagas yang tak dapat melihat, mendadak tersentak kaget. Tanpa fikir panjang Ayu beranjak menghampiri Abigail, lalu memeluknya erat, diikuti oleh Bagas yang memeluk mereka bersamaan. Meskipun penampilan fisik dan usia mereka berbeda jauh, tapi Abigail masih menghormati Bagas dan Ayu selaku orangtua kandungnya. “Terima kasih kalian masih mengingat aku.” kata Abigail yang masih dalam pelukan Bagas dan Ayu. “Ibu akan selalu mengingat kamu, Nak. Meskipun dari awal kami tak bisa merawat kamu, tapi kami akan selalu mengingat kamu satu-satunya anak yang kami sayangi.” balas Ayu dengan bahasa isyarat tangan bercampur nada suara yang mindeng penuh getaran. “Bagaimana kamu bisa sampai di sini, Nak?” tanya Bagas penasaran bercampur heran. Abigail terpaku diam, lalu memperlihatkan sepucuk surat hasil tulisan tangan Bagas dan Ayu, tujuh puluh lima tahun yang lalu.
***
Dear anakku, Abigail. Inilah aku ayahmu. Ketika kamu membaca suratku ini, kamu pasti akan mengerti perihal alasanku harus meninggalkanmu di panti asuhan “Kasih Ananda” Dengan berat hati aku harus lakukan ini, demi kebaikanmu. Hidupmu kelak akan bahagia tanpa kehadiran kami. Kamu akan menjadi manusia seutuhnya, sama seperti yang lain. Tidak seperti aku dan ibumu yang terperangkap dalam balutan hidup tak berujung, dan merasa tersiksa di dalamnya. Kamu akan tumbuh dewasa dan menjalani hidupmu yang indah. Kamu akan merasakan cinta itu, meskipun tidak secara langsung aku berikan untukmu. Mencintai dan dicintai akan menjadi bagian hidupmu yang penuh warna.
Aku dan ibumu tidak bisa membawamu, karena mereka selalu mengejar kami tanpa henti. Siang malam kami di buru, oleh sebab mereka yang penasaran telah mengetahui kami yang tak bisa mati. Mereka ingin tahu rahasia hidup abadi, tapi bagi aku dan ibumu melihat mereka hanyalah segelintir orang berduit yang tak akan pernah bisa mendobrak suratan takdir semesta. Mereka akan mati sendiri karena ambisi, begitu pun dengan para ilmuan mereka yang bertekad meneliti kami. Mereka tak akan pernah mendapat jawaban itu, sampai kapanpun.