Bagas tak pernah mengira malam itu adalah malam terakhir baginya memeluk hangatnya tubuh sang ibu. Bagas tak bisa lagi mendengar detak jantung ibunya ketika sedang tertidur lelap. Jurang kematian telah memisahkan Bagas dari ibunya. Waktu seakan terhenti ketika Bagas memeluk jasad mati ibunya. Airmatanya jatuh menetesi wajah pucat ibunya yang mulai dingin. Kehidupan tak lagi menarik bagi Bagas tanpa kehadiran sosok ibunya. Ia berusaha mencari kematian itu supaya bisa menemani ibunya, tapi kematian tak pernah bersedia datang padanya.
Wahai engkau yang dijuluki kematian, mengapa engkau diciptakan ada? Apa keuntunganmu merenggut nyawa mahkluk yang sudah diberikan nafas? Apakah engkau memakan jiwa-jiwa mereka? Ataukah engkau hanya sekedar menyimpan jiwa-jiwa? Dalam kesendirian aku bertanya, untuk apa tercipta kehidupan bila ada kematian?
Setelah menguburkan jasad ibunya, Bagas beranjak pergi mengikuti langkah kakinya sebagai pengembara waktu dan kenangan. Yang tersisa pada dirinya hanyalah kesepian.
Dalam perjalanannya, Bagas mulai bertemu dengan banyak orang, dan semua itu dijadikan kebahagiaan bagi jiwanya. Baginya langit adalah atap yang tak bertepi, dan bumi adalah lantai yang tak berujung. Kebebasan adalah sahabat sejatinya. Jiwa pengelana itu menuliskan semuanya menjadi kata sastra sang pengelana. Berada dalam gelap bukan masalah baginya. Kebutaan mata sejak ia dilahirkan tidak menjadi bagian kesedihannya lagi.
Setiap angin berhembus pelan menerpa wajahnya, Bagas selalu berusaha mendengarkan, siapa tahu angin mengantarkan pesan dari ibunya dari alam baka, tapi angin hanyalah angin, datang dan pergi sesuka dirinya.
Ibu, seandainya engkau masih ada di sisiku, tentu hadirmu akan membawa secercah cahaya kebahagiaan bagiku. Tapi engkau sudah tiada, hilang menjadi sejarah indah bagi anakmu.