Langit malam terasa sepi, ketika sebuah meteor yang dinamakan Pegassus melintas. Bentuknya seperti kuda bersayap, ekornya mengeluarkan gas putih yang bila melewati batas atmosfer akan terbakar dan berubah menjadi debu-debu berkilauan, lalu berjatuhan indah menuju lantai bumi.
Seperti malam itu, tanpa menimbulkan kebisingan dan tanpa ter-prediksi oleh seorangpun penduduk bumi, meteor itu melintasi kelamnya langit. Kehadirannya bagaikan misteri alam yang tak terpecahkan sejak dahulu kala.
Bagas sedang tertidur pulas berselimutkan udara malam di dekat area lembah yang dinamakan Harapan. Samar-samar terdengar suara derap langkah beberapa orang menghampirinya. Bagas mengambil tongkatnya, lalu berdiri, “Siapa kalian…?”
Ada tiga laki-laki bertampang sangar di hadapannya, dan sepertinya kedatangan mereka tidak bermaksud baik pada Bagas. “Kau musafir yang tidak berguna.” kata seorang dari mereka. “Tapi bagi kami, kau akan sangat berguna.” balas seorang lagi. “Ikut kami…!” kata seorang lagi, “Organ tubuhmu akan sangat berguna bagi ilmu pengetahuan.”
Bagas teringat ada desas-desus di daerah itu, bahwa ada beberapa orang suruhan seorang dokter dari Belanda, untuk mengambil organ tubuh manusia untuk dijadikan penelitian kedokteran. “Tidak. Aku tidak akan ikut kalian.” kata Bagas berusaha tenang di depan mereka. “Kau harus ikut kami.” balas seorang dari mereka, lalu beranjak menghampiri Bagas, dan berusaha menangkap tangannya. Bagas berontak sekuat tenaga, dan lari menghindari mereka. “Percuma kau lari, orang buta. Kau tidak akan bisa lepas dari kami.” kata seorang dari mereka sambil mengejar Bagas.
Matanya yang buta tak membuat Bagas menyerah, dan tibalah Bagas di pinggiran jurang. Bagas bisa merasakan jalannya sudah berujung, dan ia sadar telah berada di tepian jurang yang sangat dalam. Ketiga orang itu sudah mengepungnya. “Sudah ku bilang, kau tak kan bisa lari jauh.” kata seorang dari mereka, sambil tertawa puas melihati Bagas, begitu juga dengan kedua orang lainnya.
“Sebaiknya kau menyerah. Jangan jatuhkan dirimu ke bawah sana. Rasanya sakit. Belum lagi nanti mayatmu akan di cabik-cabik binatang pemakan bangkai. Lebih baik kau serahkan dirimu. Kami akan cepat mematikanmu tanpa sakit. Organ dalammu akan berguna untuk ilmu pengetahuan.”
“Kalian gila. Lebih baik aku mati di bawah sana.” balas Bagas sambil mempersiapkan diri jatuh ke jurang. Ketiga lelaki itu berusaha mencegah niat Bagas menjatuhkan diri, tapi mereka tak bisa. “Sial. Gagal lagi kita.” kata seorang dari mereka. “Kita cari lagi yang lain.” balas seorang lagi, lalu ketiganya beranjak pergi tanpa beban.
Dalam posisi jatuhnya menyusuri dalamnya jurang, Bagas merasakan tubuhnya melayang bebas. Waktu terasa lambat bagi Bagas yang sudah mendekati kematiannya. Ntah mengapa, seperti ada kenyamanan yang dirasakannya ketika ia melihat wajah ibunya yang tersenyum, lalu berkata “Anakku.”