Cinta itu datang ketika hati sudah terkunci, itulah yang dirasakan Bagas ketika sedang bersama Astuti. Semakin hari Bagas semakin merasakan perasaan yang tak biasa terhadap Astuti. Bagi Bagas, memang Astuti bukanlah orang yang pertama mengisi hatinya, karena puluhan tahun yang lalu Bagas sempat membuka hati dan cintanya untuk beberapa perempuan, tapi pada akhirnya semua cinta itu kandas, karena terpisahkan jurang maut dan tubuh yang menua. Bagas tidak ingin merasakan perasaan itu terhadap Astuti, tapi ia tak bisa membohongi dirinya sendiri. Hatinya sudah terlanjur jatuh cinta pada perempuan itu. “Boleh aku meraba wajahmu lagi?” tanya Bagas ketika mereka sedang duduk berduaan di area sebuah taman indah. “Boleh.” jawab Astuti singkat, lalu Astuti mendekatkan wajahnya, sehingga Bagas bisa meraba wajahnya dengan kedua tangannya. Ia meraba dari dahi, turun ke mata, ke pelipis, hidung, dan akhirnya menuju dagu. Semuanya terasa sempurna bagi Bagas. “Kamu cantik.” kata Bagas dengan nada pelan. “Terima kasih.” balas Astuti, “Kamu suka padaku?” Sejenak Bagas terpaku diam ketika Astuti menanyakan hal itu. “Kenapa kamu diam…?” tanya Astuti lagi. “Sebab aku tidak tahu harus jawab apa.” balas Bagas. “Jawablah sesuai dengan yang kamu rasakan terhadapku.” sentak Astuti lagi. “Iya. Aku suka padamu.” kata Bagas dengan nada pelan, "...tapi aku takut, takut bila nanti waktu yang akan memisahkan kita. Suatu saat kamu akan tua, dan mati, sedangkan aku…” Bagas tak meneruskan bicaranya, sehingga membuat Astuti kembali penasaran, “Sedangkan kamu, kenapa…?”
Sejenak Bagas terpaku diam, lalu perlahan namun pasti mulutnya mulai kembali bicara, "Aku lahir di tahun 1845. Nama asliku bukan Dimas. Namaku Bagas.” Astuti langsung terpaku diam melihati Bagas, ada rasa kaget dan tak percaya dalam diri Astuti terhadap pengakuan Bagas, tapi sepertinya Bagas serius dengan pengakuannya itu. “Kamu pasti bercanda. Iya kan…?” tanya Astuti. “Tidak. Aku tidak sedang bercanda.” jawab Bagas dengan tegasnya. “Kalo begitu, kamu pasti sedang melantur, iya kan…?” tanya Astuti lagi, kali ini di selingi dengan senyuman nyinyir. “Tidak. Aku tidak sedang melantur.” tegas Bagas, sehingga membuat Astuti semakin terheran-heran dibuatnya, “Apa buktinya jika benar kamu lahir di tahun 1845…?”
“Aku tidak punya bukti. Aku hanya punya kejujuran.” Astuti tersenyum kecil, dan ia semakin yakin Bagas sedang mempermainkannya. “Jika kamu ingin membuatku kaget, kamu berhasil. Jika kamu ingin membuatku tertawa, kamu juga berhasil. Lihat aku tertawa… Hahahaha…” serentak Astuti terpaku diam dan menghentikan tawa palsunya, lalu menatap Bagas, “Peluk aku." Bagas menuruti keinginan Astuti, lalu ia memeluknya erat. Astuti merasakan kenyamanan dan kehangatan luar biasa dalam pelukan Bagas, begitupun sama halnya yang dirasakan oleh Bagas, meskipun batinnya bergejolak karena merasa dirinya sudah jatuh kembali di lubang yang sama, yaitu jebakan cinta yang pasti akan membuatnya menderita seperti beberapa kisah masa lalunya dengan perempuan-perempuan yang dicintainya.
***